Presentasi

|

1. ERUPSI GIGI
1.1 Anatomi Gigi
Anatomi gigi adalah ilmu yang mempelajari tentang susunan/struktur dan bentuk gigi, hubungan antara gigi yang satu dengan gigi yang lain dan hubungan antara gigi dengan jaringan sekitarnya. Secara anatomi gigi terdiri dari bagian mahkota yang terlihat didalam mulut dan akar yang terbenam di dalam tulang rahang dan gusi.1


Gambar 1. Anatomi gigi2






Bagian-bagian gigi yaitu:1
a. Mahkota gigi atau corona (Crown), merupakan bagian yang tampak di atas gusi. Terdiri atas:
• Lapisan email
Merupakan jaringan keras yang mengalami kalsifikasi yang menutupi dentin dari mahkota gigi. Berasal dari jaringan ektodermal. Berfungsi sebagai menahan daya kunyah/abrasi. Terdiri dari zat anorganik lebih kurang 99% sebagai prismata dan zat organik lebih kurang 1% sebagai substantia pelekat
• Tulang gigi (dentin).
Jaringan dentin berasal dari mesenkim. Merupakan jaringan ikat yang mengalami kalsifikasi dan jaringan yang terbesar dari gigi. Terdiri dari zat anorganik lebih kurang 70% dan zat organik lebih kurang 30% pada kanalikuli dentin yang didalamnya terdapat Tomes Fiber
• Rongga gigi (pulpa), bagian antara corona dan radiks.
Jaringan yang berasal dari mesenkim. Pada ronga pulpa bisa ditemukan saraf, pembuluh darah, pembuluh limfe dan jaringan ikat (jarang). Fungsi sebagai formatif (membentuk), nutrisi, sensoris dan defensif
b. Leher gigi atau kolum, bagian yang terdapat antara mahkota dan akar gigi.
c. Akar gigi atau radiks (roots), bagian yang tertanam pada tulang rahang. Akar gigi melekat pada tulang rahang dengan perantaraan semen gigi. Semen gigi melapisi akar gigi dan membantu menahan gigi agar tetap melekat pada gusi. Terdiri atas lapisan semen, pelindung akar gigi dalam gusi. Gusi, merupakan pelindung dari jaringan-jaringan di bawahnya .1

Jaringan periodontal//jaringan peyanggah gigi meliputi : 3
a. Gingiva/gusi, yaitu jaringan lunak yang meliputi prosesus alveolaris dan mengelilingi gigi.
b. Sementum, yaitu bagian yang menghubungkan gigi dengan tulang rahang melalui serabut periodontal.
c. Selaput/serabut periodontal/periodontal fiber/serabut sharpey, berfungsi melekatkan gigi/sementum ke tulang dan sebagai penahan tekanan yang diterima dan meneruskannya ke tulang.
d. Tulang rahang/prosesus alveolaris, yaitu bagian dari rahang tempat akar-akar gigi, berfungsi mengikat gigi dalam suatu posisi relasi terhadap lengkung gigi.

1.2 Nomenklatur Gigi
Penamaan gigi salah satunya adalah cara Federation Dental International (FDI). Cara ini menggunakan sistem 2 angka, dimana angka pertama menunjukkan kuadran, sedangkan angka kedua menunjukkan lokasi gigi.3
Gigi tetap: 18 17 16 15 14 13 12 11 21 22 23 24 25 26 27 28
48 47 46 45 44 43 42 41 31 32 33 34 35 36 37 38
Gigi susu: 55 54 53 52 51 61 62 63 64 65
85 84 83 82 81 71 72 73 74 75

1.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi
Benih gigi mulai dibentuk sejak janin berusia 7 minggu dan berasal dari lapisan ektodermal serta mesodermal. Lapisan ektodermal berfungsi membentuk enamel dan odontoblas, sedangkan mesodermal membentuk dentin, pulpa, semen, membran periodontal dan tulang alveolar. Pertumbuhan dan perkembangan gigi dibagi dalam tiga tahap yaitu perkembangan, kalsifikasi, dan erupsi.4
1.3.1 Tahap Perkembangan Gigi
Tahap perkembangan gigi adalah sebagai berikut: 4
1. Inisiasi (bud stage)
Merupakan permulaan terbentuknya benih gigi dari epitel mulut. Sel-sel tertentu pada lapisan basal dari epitel mulut berproliferasi lebih cepat daripada sel sekitarnya menghasilkan lapisan epitel yang menebal di regio bukal lengkung gigi dan meluas sampai seluruh bagian rahang atas dan bawah.

2. Proliferasi (cap stage)
Pada tahap ini lapisan sel-sel mesenkim yang berada pada lapisan dalam mengalami proliferasi, memadat, dan bervaskularisasi membentuk papil gigi yang kemudian membentuk dentin dan pulpa. Sel-sel mesenkim yang berada di sekeliling organ gigi dan papila gigi memadat dan fibrous, disebut kantong gigi yang akan menjadi sementum, membran periodontal dan tulang alveolar.

3. Histodiferensiasi (bell stage)
Pada tahap ini terjadi diferensiasi seluler. Sel-sel epitel enamel dalam menjadi semakin panjang dan silindris disebut ameloblas yang akan berdiferensiasi menjadi enamel, dan sel-sel bagian tepi dari papila gigi menjadi odontoblas yang akan berdiferensiasi menjadi dentin.

4. Morfodiferensiasi
Sel pembentuk gigi dipersiapkan untuk menghasilkan bentuk dan ukuran gigi selanjutnya. Proses ini terjadi sebelum deposisi matriks dimulai. Morfologi gigi dapat ditentukan bila epitel enamel bagian dalam tersusun sedemikian rupa sehingga batas antara epitel enamel dan odontoblas merupakan gambaran dentinoenamel junction yang akan terbentuk. Dentinoenamel junction mempunyai sifat khusus yaitu bertindak sebagai pola pembentuk setiap macam gigi. Terdapat deposit enamel dan matriks dentin pada daerah tempat sel-sel ameloblas dan odontoblas yang akan menyempurnakan gigi sesuai dengan bentuk dan ukurannya.
5. Aposisi
Terjadi pembentukan matriks keras gigi baik pada enamel, dentin, dan sementum. Matriks enamel terbentuk dari sel-sel ameloblas yang bergerak ke arah tepi dan telah terjadi proses kalsifikasi sekitar 25%-30%.

1.3.2 Tahap Kalsifikasi Gigi
Tahap kalsifikasi adalah suatu tahap pengendapan matriks dan garam-garam kalsium. Kalsifikasi akan dimulai di dalam matriks yang sebelumnya telah mengalami deposisi dengan jalan presipitasi dari satu bagian ke bagian lainnya dengan penambahan lapis demi lapis. 4
Gangguan pada tahap ini dapat menyebabkan kelainan pada kekerasan gigi seperti hipokalsifikasi. Tahap ini tidak sama pada setiap individu, dipengaruhi oleh faktor genetik atau keturunan. Kalsifikasi gigi permanen dimulai saat lahir, yaitu saat molar pertama tetap mulai terkalsifikasi. 4

1.3.3 Tahap Erupsi Gigi
Ada dua fase yang penting dalam proses erupsi gigi yaitu erupsi aktif dan pasif. Erupsi aktif adalah pergerakan gigi yang didominasi oleh gerakan ke arah vertikal, sejak mahkota gigi tumbuh dari tempat pembentukannya di dalam rahang sampai mencapai oklusi fungsional dalam rongga mulut. Sedangkan erupsi pasif adalah pertumbuhan gusi ke arah apeks yang menyebabkan mahkota klinis bertambah panjang dan akar klinis bertambah pendek sebagai akibat adanya perubahan pada perlekatan epitel di daerah apikal. 4
Gigi permanen yang pertama erupsi adalah gigi molar pertama rahang bawah, yaitu saat anak berumur 6 tahun, tetapi kadang-kadang gigi insivus pertama rahang bawah erupsi bersamaan atau bahkan mendahului gigi molar pertama tersebut. Setelah itu gigi insisivus pertama rahang atas dan gigi insisivus kedua rahang bawah erupsi pada umur 7-8 tahun diikuti gigi insisivus kedua rahang atas pada umur 8-9 tahun. Gigi kaninus rahang bawah erupsi pada umur 9-10 tahun dan gigi premolar pertama rahang atas pada umur 10-11 tahun, dan seterusnya seperti yang digambarkan pada Gambar 2. 4


Gambar 2. Waktu Erupsi Gigi Desidui dan Gigi Permanen 5

Presentasi

|

|

MANFAAT PEMERIKSAAN RADIOLOGI
PADA KELAINAN TELINGA
oleh Kamisah
Bagian Ilmu Penyakit THT FK UNRI RSUD Arifin Achmad Pekanbaru

1.1 PENDAHULUAN
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan keseimbangan). Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.1
Indra pengindraan dan keseimbangan serta penghantar suara terletak dalam tulang temporal, yang ikut membentuk kubah tengkorak dan tulang pipi. Tulang temporal terdiri dari bagian skuamosa, bagian timpani, bagian mastoid, dan pars petrosa. Bagian skuamosa os temporal sebagian besar tipis dan cembung kearah luar sebagai tempat perlengketan muskulus temporalis. Bagian timpani berbentuk suatu silinder yang tidak sempurna, bersama-sama dengan bagian skuama membentuk liang telinga luar bagian tulang. Bagian terbesar os temporal dibentuk oleh bagian mastoid. Bagian mastoid mengalami pneumatisasi yang luas. Pars petrosa yang disebut sebagai pyramid petrosa yang berisi labirin telinga. Bagian superior tulang ini membentuk permukaan inferior fossa kranii media.1,2

Gambar 1. Anatomi Tulang temporal (dikutip dari kepustakaan 1)
Secara anatomi dan fungsional, telinga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.1,2

1. Anatomi Telinga Luar
Telinga luar ialah bagian telinga yang terdapat sebelah luar membrane timpani. Bagian ini terdiri dari daun telinga dan liang telinga. Da un telinga merupakan suatu lempeng tulang rawan yang ditutupi oleh kulit dan dipertahankan pada tempatnya oleh otot dan ligamentum. Sepertiga liang telinga luar dibentuk oleh perluasan tulang rawan daun telinga dan dua per tiga bagian dalam dibentuk oleh pars timpani dan pars skuamosa os temporal.1,2

Gambar 2. Anatomi Telinga (dikutip dari kepustakaan 3)

2. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, prosesus mastoideus dan tuba eustachius.
a. Membran Timpani
Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani dan memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Letak membrana timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar ke depan dalam dan membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal. Membrana timpani merupakan kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut menonjol kearah kavum timpani, puncak ini dinamakan umbo. Dari umbo ke depan bawah tampak refleks cahaya ( cone of light).1
Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan diameter transversal 2-6 mm.
b. Tuba Eustachius
Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani. bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring.1,2
Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga yaitu mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drenase sekret dari kavum timpani ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke kavum timpani.1,2
c. Prosesus Mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum.1
1. Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal. Organ untuk pendengaran (koklea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga kranial VII (nervus fasialis) dan VIII (nervus koklea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari komplek anatomi. Koklea dan kanalis semisirkularis bersama menyusun struktur labirin. Ketiga kanalis semisirkularis posterior, superior dan lateral terletak membentuk sudut 90 derajat satu sama lain yang berisi organ keseimbangan. Organ ahkir reseptor ini distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah gerakan seseorang.1,2




1.2 PEMERIKSAAN RADIOLOGI TELINGA
Pemeriksaan radiologi merupakan alat penunjang diagnostik yang penting dalam diagnosis penyakit telinga. Setelah memperoleh riwayat lengkap dan pemeriksaan telinga tengah dan mastoid yang cermat dengan otoskop, maka dapat diputuskan perlu tidaknya pemeriksaan radiologis.4 Pemeriksaan radiologi pada telinga berfungsi untuk menentukan5:
a. Struktur anatomi tulang mastoid, meliputi sel udara mastoid, diploe dan sklerotik mastoid.
b. Mendeteksi adanya perubahan patologis seperti perselubungan pada sel mastoid, erosi pada tulang dan pembentukan kavitas.
c. Keadaan telinga dalam, kanalis auditorius interna, kanalis semisirkularis dan nervus fasialis.
d. Keadaan tulang-tulang pendengaran pada telinga tengah.

Pemeriksaan radiologi yang penting adalah pemeriksaan tulang temporal. Oleh karena, tulang temporal mempunyai struktur anatomi yang overlapped dengan beberapa struktur tulang tengkorak lainnya. Tulang temporal merupakan struktur yang unik karena ukurannya yang kecil yang dikelilingi oleh sistem sel pneumatisasi yang ekstensif. Oleh karena densitas berlainan dari komponen tulangnya dan ruang yang berisi udara dan cairan disekeliling dan didalamnya, tulang temporal memperlihatkan gambaran radiografi yang akurat. Hal ini dapat dibuat dengan pemeriksaan radiografi konvensional atau dengan teknik tomografi yang khas.6,7

1. Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan radiologi konvensional pada tulang temporal mempunyai nilai penyaring serta dapat menentukan status pneumatisasi mastoid dan pyramid tulang petrosa. Dengan pemeriksaan radiologi konvensional ini dapat dinilai besar dan perluasan suatu lesi besar yang berasal dari tulang temporal atau yang merupakan perluasan dari lesi-lesi struktur sekitar tulang temporal kearah tulang temporal.8 Hal ini bermanfaat untuk mempelajari mastoid, telinga tengah, labirin dan kanalis akustikus internus.4
Beberapa proyeksi radiologik meliputi 6,7,8:
1. Posisi Schuller
Posisi ini menggambarkan penampakan lateral mastoid. Proyeksi foto dibuat dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan sinar-X ditujukan dengan membentuk sudut 30o cephalo-caudad. Pada posisi ini perluasan pneumatisasi mastoid serta struktur trabekulasi dapat tampak dengan jelas. Posisi ini juga memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis auditorius eksterna dan hubungannya dengan sinus lateralis.

Gambar 3. a dan b adalah proyeksi Schuller
(Dikutip dari kepustakaan 7)


Gambar 4. Gambaran Mastoid pada proyeksi Schuller
( Dikutip dari kepustakaan 8)
2. Posisi Owen
Posisi ini juga menggambarkan penampakan lateral mastoid dan proyeksi dibuat dengan kepala terletak sejajar meja pemeriksaan atau film lalu wajah diputar 30o menjauhi film dan berkas sinar-X ditujukan dengan sudut 30-40o cephalo-caudal. Umumnya posisi owen dibuat untuk memperlihatkan kanalis auditorius eksternus, epitimpanikum, bagian-bagian tulang pendengaran dan sel udara mastoid.

Gambar 5. Gambaran Mastoid Posisi Owen
(Dikutip dari kepustakaan 8)

3. Posisi Chausse III
Posisi ini merupakan penampakan frontal mastoid dan ruang tengah telinga. Proyeksi dibuat dengan oksiput terletak diatas meja pemeriksaan, dagu ditekuk kearah dada lalu kepala diputar 10-15o kearah sisi berlawanan dari telinga yang diperiksa.
Posisi ini merupakan posisi tambahan setelah pemeriksaan posisi lateral mastoid. Posisi Chausse III ini merupakan posisi radiologik konvensional yang paling baik untuk pemeriksaan telinga tengah terutama untuk pemeriksaan otitis media kronik atau kolesteatoma.

Gambar 6. Gambaran Mastoid posisi Chausee III
(Dikutip dari kepustakaan 8)

4. Posisi Law
Posisi law hampir serupa dengan posisi lateral, sangat bernilai dalam evaluasi mastoiditis akut. Posisi ini kini sering diminta sebelum dilakukan pembedahan mastoid untuk melakukan letak patokan-patokan utama seperti tegmen mastoid dan sinus sigmoideus, dan juga menentukan ukuran mastoid secara keseluruhan.

Gambar 7. Proyeksi Law
(Dikutip dari kepustakaan 5)






5. Posisi Stenvers
Kepala terletak sejajar meja pemeriksaan atau film lalu wajah diputar 45o menjauhi film dan berkas sinar-X Posisi Stenvers memperlihatkan sumbu panjang pyramid petrosus dengan kanalis akustikus internus, labirin dan antrum.

Gambar 8. Proyeksi Stenvers
(Dikutip dari kepustakaan 7)

Beberapa kelainan telinga dan gambaran radilogi:
a. Otitis media akut dan mastoiditis akut
Mastoiditis akut terjadi karena komplikasi atau ekstensi dari otitis media akut. Otitis media akut ini terjadi karena infeksi yang dimulai dari traktus respiratorius bagian atas dan nasofaring, kemudian proses ini naik keatas melalui tuba eustachius ke telinga tengah. Jika proses ini berlanjut tanpa terapi yang adekuat akan terjadi supurasi dan destruksi pada sel udara mastoid dan pyramid tulang petrosus sehingga terjadinya abses. Mastoiditis dapat menyebabkan terjadinya erosi pada dinding posterior mastoid diatas sinus sigmoid sehingga terjadi abses ekstradural, tromboflebitis septic pada sinus sigmoid atau dapat menyebabkan abses periosteal pada prosesus mastoid.8
Pembuatan foto radiologik untuk mastoiditis akut biasanya dipakai posisi schuller dan Owen. Dengan posisi ini dapat dilihat dengan jelas perselubungan sel udara mastoid, destruksi trabekulae atau erosi sinus plate. Gambaran radiologis mastoiditis akut tergantung pada lamanya proses inflamasi dan proses pneumatisasi tulang temporal. Biasanya mastoiditis akut tidak terjadi pada mastoid yang acellulaer.8

Gambar 9. Mastoiditis akut dengan posisi Schuller tampak perselubungan agak difus serta destruksi trabekulasi bagian superior.
(Dikutip dari kepustakaan 8)

Gambaran dini mastoiditis akut adalah berupa perselubungan ruang telinga tengah dan sel udara mastoid, dan bila proses infamasi terus berlangsung akan terjadi perselubungan yang difus pada kedua daerah tersebut. Pada masa permulaan infeksi biasanya struktur trabekulae dan sel udara mastoid masih utuh, tetapi kadang-kadang dengan adanya edem mukosa dan penumpukan cairan seropurulen, maka terjadi kekaburan penampakan trabekulasi sel udara mastoid. Bersamaan dengan progesivitas infeksi, maka akan terjadi demineralisasi diikuti destruksi trabekulae dimana pada proses mastoid yang hebat akan terjadi penyebaran kearah posterior menyebabkan tromboflebitis pada sinus lateralis.8
Jika terjadi komplikasi intracranial pada daerah fossa kranii posterior atau media, maka pemeriksaan computerized tomography (CT Scan) merupakan pemeriksaan terpilih untuk mendeteksi hal tersebut dimana pada pemeriksaaan CT Scan dapat ditemui defek tulang dengan lesi intracranial.8
Kadang sulit membedakan mastoiditis akut dengan otitis media serosa, dimana pada otitis media serosa cairan serous dapat mengisi telinga tengah dan memasuki sistem udara mastoid. Untuk membedakan kedua hal ini dapat dibantu dengan riwayat klinis. 8


b. Otitis Media Kronik dan Mastoiditis Kronik
Otitis media kronik dan mastoiditis kronik disebabkan oleh infeksi kronis atau infeksi akut dengan resolusi yang tidak sempurna. Gambaran radiologik pada mastoiditis kronik terdiri atas perselubungan yang tidak homogen pada daerah antrum mastoid dan sel udara mastoid, serta perubahan yang bervariasi pada struktur trabekulasi mastoid. Proses inflamasi pada mastoid akan menyebabkan penebalan struktur trabekulasi diikuti dengan demineralisasi trabekulae, pada saat ini yang tampak pada foto adalah perselubungan sel udara mastoid dan jumlah sel udara yang berkurang serta struktur trabekulae yang tersisa tampak menebal. Jika proses inflamasi ini terus berlangsung, maka akan terlihat obliterasi sel udara mastoid dan biasanya mastoid akan terlihat sklerotik. Kadang-kadang lumen antrum mastoidikum dan sisa sisa sel udara mastoid akan terisi jaringan granulasi sehingga pada foto akan terlihat pula sebagai perselubungan.










Gambar 10. Mastoiditis kronik, dengan Schuller tampak perselubungan tidak homogen serta adanya penebalan trabekulae
(Dikutip dari kepustakaan 7)





c. Kolesteatoma
Kolesteatoma adalah sebuah kista epidermoid dimana secara histologis mempunyai lapisan dalam yang terdiri atas epitel skuamosa dan lapisan luar terdiri atas jaringan penunjang subepitelial. Lumen kista berisi debris epitel yang mengalami deskuamasi. Kolesteatoma dapat terjadi secara congenital dan didapat. Pada jenis yang didapat biasanya berasal dari telinga tengah yang meluas ke mastoid dan kadang-kadang masuk ke pyramid tulang petrosa.8,9
Pada kolestestoma yang menyebar kearah mastoid akan menyebabkan destruksi struktur trabekulae mastoid dan pembentukan kavitas besar yang berselubung dengan dinding yang licin. Kadang-kadang kolesteatoma dapat meluas ke sel udara mastoid tanpa merusak trabekulasi tulang dan jenis ini sering dijumpai pada anak-anak, dimana gambaran radiologiknya berupa perselubungan pada sel udara mastoid tanpa merusak trabekulasi tulang dan jenis ini sering dijumpai pada anak-anak dimana gambaran radiologiknya berupa perselubungan pada sel udara mastoid dan sulit dibedakan dengan mastoiditis biasa. Untuk melihat lesi-lesi kolesteatoma yang kecil atau ingin melihat lesi lebih jelas perlu dibuat tomografi tulang temporal.8,9

d. Tumor Glomus Jugulare
Glomus jugulre adalah suatu struktur kelenjar kecil ( ½ x ½ x ¼ mm), yang menyerupai badan karotis. Struktur ini terdiri dari kumpulan sel-sel non kromafin yang berkelompok diantara saluran pembuluh darah yang tipis. Fungi struktur ini tidak diketahui, kemungkiinan besar merupakan kemoreseptor yang sesnsitif terhadap kadar CO2 atau PH darah. Pemeriksaan radiologik pada kasus dini kurang bermanfaat, teteapi untuk tumor lanjut akan terlihat pembesaran foramen jugulare dan erosi tulang. Pada kasus lanjut angigrafi arteri karotis eksterna berguna untuk menentukan batas perluasan tumor.6,10

Gambar 11. Tumor Glomus Jugulare
(dikutip dari kepustakaan 10)

2. Computed Tomography
Pemeriksaan tomografi komputerisasi diperlukan untuk dapat melakukan penilaian struktur kecil dari tulang temporal yang memerlukan ketajaman yang tinggi dan irisan yang tipis, serta dapat menentukan detil-detil tulang yang jelas seperti osikel, fenestra ovale dan kanalis fasialis. Adapun proyeksi CT tulang temporal adalah dengan potongan aksial, potongan koronal dan potongan sagital.5,6,10

Gambar 12. Potongan Aksial CT Scan Temporal
( dikutip dari kepustakaan 11)




a. Patologi intatemporal
Dengan CT temporal dapat mendeteksi perubahan jaringan lunak dan membedakan cairan yang mengisi ruangan dengan massa padat. Dengan penggunaan kontras gambaran enhancement (penyangatan) dapat memperlihatkan lesi vaskuler, seperti tumor glomus dan struktur vaskuler ektopik, seperti bulbus jugulare dan arteri karotis interna. Penggunaan CT temporal yang lebih penting adalah untuk mengevaluasi massa jaringan lunak yang kelihatan di bawah tegmen atau lempeng sinus. Analisis densitometrik langsung suatu massa dapat membedakan cairan yang mengisi mengingokel atau suatu ensefalokel dengan kolesteatoma atau tumor padat lain. CT temporal juga diperlukan untuk mengevaluasi telinga pasca pembedahan seperti mastoidektomi dan timpanoplasti.6
a. b.
Gambar 13. a. Kolesteatoma besar telah mengerosi dinding tulang kanalis semisirkularis lateralis. Panah menunjukkan fistel labirin.Tegmen mastoid sudah tipis b. Kolesteatom eksterna besar memenuhi liang telinga masuk ke rongga mastoid (Dikutip dari kepustakaan 12)

b. Patologi intra dan ekstratemporal
Kelainan yang termasuk pada kelompok ini adalah lesi yang timbul pada tulang temporal dan menjalar ke intracranial atau ekstrakranial dan lesi yang dari struktur diluar tulang temporal tetapi masuk ke dalam tulang temporal dengan penjalaran langsung. Beberapa lesi yang dapat dinilai meliputi6,11,12:
- Tumor glomus jugulare, dapat terletak intratemporal, penyebaran intrakranial dan ekstrakranial ke leher sepanjang ruang perijugular. Radiologi adalah modalitas investigasi utama untuk glomus tumor kepala dan leher. Kombinasi contrast-enhanced CT, MRI, dan angiografi sangat ideal untuk diagnosa yang tepat dan lokalisasi dari tumor. Angiografi tetap sangat penting jika diagnosis tidak jelas atau jika dibutuhkan embolisasi.13
a. b.
Gambar 13. a. CT Scan Tumor glomus jugulare dengan destrusi tulang basis cranii, b. Angiogram. (Dikutip dari kepustakaan 13)

- Karsinoma dan sarcoma, penggunaan CT Scan selain untuk menentukan lokasi tumor, serta menentukan penyebaran ekstratemporal tumor dan bidang reseksi pembedahan.
- Infeksi akut dengan osteomielitis, seperti otitis eksterna maligna, CT temporal merupakan prosedur pilihan untuk mendiagnosis penyebaran proses ekstratemporal didalam sendi temporomandibular, dasar tengkorak, jaringan lunak leher, vertebra servikal dan untuk memantau evaluasi proses. CT temporal juga harus dilakukan apabila diduga adanya kemungkinan abses otogenik.
- Fraktur tulang temporal. Fraktur tulang temporal dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu fraktur longitudinal dan fraktur transversal serta fraktur campuran. Fraktur longitudinal berawal dari foramen magnum dan berjalan keluar menuju linag telinga, telinga berdarah dan terjadi gangguan pendengaran konduktif. Fraktur tranversal sering menyebabkan cedera labirin dan nervus fasialis karena garis fraktur melintasi apeks petrosus atau labirin. Oleh karena fraktur tulang temporal, terutama tipe transversal, selalu terjadi akibat trauma kepala yang berat, maka CT harus selalu dilakukan pada trauma kepala berat untuk menilai adanya fraktur, tempat dan bentuk fraktur serta melihat adanya perdarahan intracranial dan komplikasi lainnya.14

a. b. c.
Gambar 14. a. CT Scan potongan Axial dengan fraktur temporal longitudinal, b. CT Scan potongan Axial dengan fraktur temporal transversal, c. CT Scan potongan Axial dengan fraktur temporal campuran longitudinal dan oblique.
(Dikutip dari kepustakaan 14)

- Tumor epidermoid. Lesi ini timbul dari sisa epidermis yang terletak di rongga epidural berdampingan dengan tulang temporal, terutama diatas os petrosus superior, fosa jugular dan sisterna serebelopontin. Gambaran patognomonik tumor epidermoid adalah setelah pemberian kontras akan didapatkan daerah berdensitas rendah dan dikelilingi oleh kapsul yang tipis.
- Meningioma. Pemeriksaan CT sebelum pemberian kontras terlihat gambaran hiperostotik tulang temporal, dan setelah pemberian kontras akan terlihat masa intrakranial yang jelas.
- Tumor ekstrakranial yang meluas ke tulang temporal, yang paling banyak ialah tumor yang berasal dari kelenjar parotis dan nasofaring.
c. Patologi angulus serebelopontin
CT Scan dengan kontras atau kombinasi dengan pneumosisternografi merupakan prosedur pilihan untuk mendiagnosis neuroma akustik.6

Gambar 15. Neuroma akustik (Dikutip dari kepustakaan 15)
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan teknik imaging yang tidak menggunakan radiasi, dengan keunggulan MRI dapat menilai jaringan lunak lebih jelas. Sudut pengambilan MRI sama dengan CT Scan, aksial dan koronal. Peran MRI untuk menunjukkan patologi di telinga tengah sangat terbatas, namun untuk menunjukkan kolesteatom lebih baik dari pada CT Scan, serta lebih memberikan keterangan tentang terkenanya n.fasialis. Kekurangan MRI adalah kurang memberikan informasi tentang keadaan tulang. Pada OMSK, MRI kadang-kadang dibutuhkan untuk membedakan kolesteatom dengan granuloma kolesterol, dimana pada MRI kolesteatom hipointens atau isointens pada gambar T1 dan hiperintens pada gambar T2, sedangkan pada granuloma kolesterol hiperintens pada T1 dan T2.12
a b c
Gambar 16. MRI, potongan aksial tulang temporal dengan kolesteatoma besar, T1 a dan T2 b, c. granuloma kolesterol yang hiperintens
(Dikutip dari kepustakaan 12)



























DAFTAR PUSTAKA
1. Austin D. Telinga dalam Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ballenger JJ (ed). Jakarta: Binarupa Aksara,1994; 101-19.
2. Soetirto I, Hendramin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok dan Kepala Leher Edisi Ke Enam. Soepardi EA, Iskandar N(Ed). Jakarta: FKUI. 2006; 9-12.
3. Encarta. Anatomy of The Ear. http://www.encarta.msn.com/anatomy-of-the ear.html. [diakses tanggal 24 September 2009].
4. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.1997;99-105.
5. Kumar De S. Fundamentals of Ear, Nose and Throat Diseases and Head-Neck Surgery. Calcuta: The New Book Stall. 1996;537-9.
6. Valvassori, GE. Radiologi Tulang Temporal dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ballenger JJ (ed). Jakarta: Binarupa Aksara,1994;73-97.
7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear Nose, and Throat Disease. New York: Thieme Medical Publishers. 1994; 38-40.
8. Makes D. Pemeriksaan Radiologi Mastoid dalam: Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Ekayuda I (ed). Jakarta: FKUI. 2006; 447-52.
9. Dobyarta L. Cronik Purulent Otitis. http://www.fulspesialist.hu/image [diakses tanggal 23 September 2009].
10. Kim SK, Capp MP. Jugular Foramen and Early Roentgen Diagnosis of Glomus Jugulare Tumor. Department of Radiology Duke University Medical Center, Durham California. 1966; vol.7, No.3; 597-600.
11. Abbot DJ. CT Scan Temporal Bone. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 18 September 2009].
12. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis, Pengetahuan Dasar, Terapi Medik, Mastoidektomi, Timpanoplasti. Jakarta: FKUI. 2004;29-40.
13. Koenigsberg RA. Glomus Tumor Head and Neck. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 1 Oktober 2009].
14. Woodcock RJ. Temporal Fracture. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 1 Oktober 2009].
15. Kutz JW. Skull Base, Acoustic Neuroma. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 1 Oktober 2009].

ALCOHOL INTOXICATION

|



ALCOHOL INTOXICATION
by: Kamisah Sualman
Bag.Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Riau Pekanbaru


Sumber Alkohol
Alkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan sering menimbulkan keracunan. Keracunan alkohol menyebabkan penurunaan daya reaksi atau kecepatan, kamampuan untuk menduga jarak dan keterampilan mengemudi sehingga cendrung menimbulkan kecelakaan lalu lintas di jalan, pabrik, dan sebagainya. Penurunan kemampuan untuk mengontrol diri dan hilangnya kapasitas untuk berpikir kritis mungkin menimbulkan tindakan yang melanggar hukum seperti perkosaan, penganiayaan, kejahatan lain ataupun tindakan bunuh diri.1
Alkohol terdapat dalam berbagai minuman seperti: whisky, brandy, rum, rodka, gin (mengandung 40% alkohol); wines (10-20%); beer dan ale (48%). Alkohol (etanol) sintetik seperti air tape, tuak dan brem, dihasilkan dari peragian secara kimia dan fisiologik. Bau alkohol murni tercium di udara bila mencapai 4,5-10 ppm.1

Farmakokinetik
a. Absorpsi/distribusi
Alkohol diabsorpsi dalam jumlah yang sedikit melalui mukosa mulut dan lambung. Sebagaian besar (80%) diabsorpsi di usus halus dan sisanya diabsorpsi di kolon. Kecepatan absorpsi tergantung pada takaran dan konsentrasi alkohol dalam minuman yang diminum serta vaskularisasi dan motalitas dan pengisisan lambung dan usus. Bila konsentrasi optimal alkohol diminum dan dimasukkan kedalam lambung kosong, kadar puncak dalam darah 30-90 menit sesudahnya. Alkohol mudah berdifusi dan distribusinya dalam jaringan sesuai dengan kadar air jaringan tersebut. Semakin hidrofil jaringan semakin tinggi kadarnya. Biasanya dalam 12 jam telah tercapai kesimbangan kadar alkohol dalam darah, usus, dan jaringan lunak. Konsentrasi dalam otak, sedikit lebih besar dari pada dalam darah.1

b. Metabolisme
Alkohol yang dikonsumsi 90% akan dimetabolisme oleh tubuh terutama dalam hati oleh enzim alkoholdehidrogenase (ADH) dan koenzim nikotinamid-adenin-dinukleotida (NAD) menjadi asetaldehid dan kemudian oleh enzim aldehida dehidrogenase (ALDH) diubah menjadi asam asetat. Asam asetat dioksidasi menjadi CO2 dan H2O. Piruvat, levulosa (fruktosa), gliseraldehida (metabolit dari levulosa)dan alanina akan mempercepat metabolism alkohol.1
Sebenarnya didalam tubuh ditemukan juga mekanisme pemecahan alkohol yang lain, yaitu hydrogen peroksida katalase dan sistem oksidasi etanol mikrosomal, namun kurang berperan. Kadar alkohol darah kemudian akan menurun dengan kecepatan yang sangat bervariasi (12-20 mg% per jam), biasanya penurunan kadar tersebut dianggap rata-rata 15 mg% (Knight, 1987) atau 14 mg% (Freudenberg, 1966) setiap jam. Pada alkohol kronik, yang telah dipercepat metabolismenya, eliminasi alkohol dapat mencapai 40 mg% per jam.1
Hepatosit memiliki tiga jalur metabolisme alkohol, yang masing-masing terletak pada bagian yang berlainan. Jalur yang pertama adalah jalur alkohol dehidrogenase (ADH) yang terletak pada sitosol atau bagian cair dari sel. Dalam keadaan fisiologik, ADH memetabolisir alkohol yang berasal dari fermentasi dalam saluran cerna dan juga untuk proses dehidrogenase steroid dan omega oksidasi asam lemak. ADH memecah alkohol menjadi hidrogen dan asetaldehida, yang selanjutnya akan diuraikan menjadi asetat. Asetat akan terurai lebih lanjut menjadi H2O dan CO2.1
Jalur kedua ialah melalui Microsomal Ethanol Oxydizing System (MEOS) yang terletak dalam retikulum endoplasma. Dengan pertolongan tiga komponen mikrosom yaitu sitokrom P-450, reduktase, dan lesitin, alkohol diuraikan menjadi asetaldehida.1
Jalur ketiga melalui enzim katalase yang terdapat dalam peroksisom (peroxysome). Hidrogen yang dihasilkan dari metabolisme alkohol dapat mengubah keadaan redoks, yang pada pemakaian alkohol yang lama dapat mengecil. Perubahan ini dapat menimbulkan perubahan metabolisme lemak dan karbohidrat, mungkin menyebabkan bertambahnya jaringan kolagen dan dalam keadaan tertentu dapat menghambat sintesa protein. 1
Perubahan redoks menimbulkan perubahan dari piruvat ke laktat yang menyebabkan terjadinya hiperlaktasidemia. Bila sebelumnya sudah terdapat kadar laktat yang tinggi karena sebab lain, bisa terjadi hiperurikemia. Serangan kejang pada delirium tremens juga meningkatkan kadar asam urat dalam darah. Pada pasien gout, alkohol dapat meningkatkan produksi asam urat sehingga kadarnya dalam darah makin meningkat.1
Meningkatnya rasio NADH/NAD akan meningkatkan pula konsentrasi alfa gliserofosfat yang akan meningkatkan akumulasi trigliserida dengan menangkap asam lemak dalam hepar. (NAD= Nicotinamide Adenine Dinucleotide; NADH = reduced NAD.) lemak dalam hepar berasal dari tiga sumber: dari makanan, dari jaringan lemak yang diangkut ke hepar sebagai Free Fatty Acid (FFA), dan dari hasil sintesis oleh hepar sendiri. Oksidasi alkohol dalam hepar menyebabkan berkurangnya oksidasi lemak dan meningkatnya lipogenesis dalam hepar.1
Pemakaian alkohol yang lama juga akan menimbulkan perubahan pada mitokondria, yang menyebabkan berkurangnya kapasitas untuk oksidasi lemak. Semua yang tersebut di atas menyebabkan terjadinya perlemakan hati (fatty lever). Perubahan pada MEOS yang disebabkan pemakaian alkohol yang berlangsung lama dapat menginduksi dan meningkatkan metabolisme obat-obatan, meningkatkan lipoprotein dan menyebabkan hiperlipidemia, berkurangnya penimbunan vitamin A dalam hepar, meningkatkan aktivasi senyawa hepatotoksik, termasuk obat-obatan dan zat karsinogen. Walaupun jarang, alkohol juga dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia (karena menghambat glukoneogenesis) dan ketoasidosis. 1
Alkohol juga menghambat sintesis protein. Asetaldehida mempengaruhi mikrotubulus sehingga hapatosit menggembung. Sebaliknya, sintesis kolagen bertambah sehingga menambah jaringan fibrotik. Itulah sebabnya 8-20% peminum alkohol yang kronik dalam jumlah banyak mengalami sirosis hepatis.1

c. Ekskresi
Alkohol yang dikonsumsi 10% akan dikeluarkan dalam bentuk utuh melalui urin, keringat dan udara napas. Dari jumlah ini sebagian besar dikeluarkan melalui urin (90%).1

Farmakodinamik
Alkohol menyebabkan presipitasi dan dehidrasi sitoplasma sel sehingga bersifat sebagai astringen. Makin tinggi kadar alkohol makin besar efek tersebut. Pada kulit alkohol menyebabkan penurunan temperatur akibat penguapan, sedangkan pada mukosa, alkohol akan menyebabkan iritasi dan inflamasi.1

a. Susunan saraf pusat
Alkohol sangat berpengaruh pada SSP dibandingkan pada sistem-sistem lain. Efek stimulasi alkohol terhadap SSP masih diperdebatkan mungkin stimulasi tersebut timbul akibat aktivitas berbagai bagian otak yang tidak terkendalikan karena bebas dari hambatan seagai akibat penekanan mekanisme control penghambat. Alkohol bersifat anastetik (menekan SSP), sehingga kemmpuan berkonsentrasi, daya ingat, dan kemampuan mendiskriminasi terganggu adan akhirnya hilang.1
Penggunaan alcohol pada seseorang yang tidak ketergantungan alkohol, tidak minum obat dan dalam kondisi jasmani yang sehat, alkohol mengurangi risiko untuk menderita penyakit jantung koroner. Bila alkohol diminum dalam jumlah yang layak, perubahan-perubahan patologik yang mungkin terjadi masih bersifat revensibel. Sebaliknya, bila alkohol disalahgunakan, dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan fisik seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, termasuk gangguan pada susunan saraf pusat, serta menimbulkan ketergantungan fisik dengan segala akibatnya. pada pemakaian alkohol yang lama, teratur, dan dalam jumlah banyak, dapat timbul ketergantungan, baik fisik maupun psikis.1,3
Toleransi yang terjadi disebabkan meningkatkannya aktivitas MEOS (toleransi farmakodinamik) dan toleransi behavioral. Pada pemakaian alkohol yang berlebihan dapat terjadi intoksifikasi alkohol dengan gejala muka merah, gangguan koordinasi motorik, jalannya tak stabil, bicara cadel, pelo), nistagmus, perubahan pada alam perasaan, mudah tersinggung, banyak bicara, dan gangguan dalam memusatkan perhatian. Pada beberapa orang dapat dijumpai intoksikasi idiosinkratik alkohol, yaitu timbul gejala intoksikasi walaupun ia hanya minum alkohol dalam jumlah yang pada kebanyakan orang tidak akan menimbulkan intoksikasi.1,3

b. Sistem kardiovaskuler
Alkohol hanya sedikit berpengaruh pada sistem kardiovaskuler. Depresi kardiovaskuler terjadi pada keracunan akut alkohol yang berat, terutama akibat factor vasomotor sentral dan depresi pernapasan. Alkohol dalam takaran sedang menyebabkan vasodilatasi terutama pembuluh darah kulit, sehingga menimbulkan rasa hangat pada kulit.1

c. Ginjal
Minum alkohol secara akut meningkatkan ekskresi amonium melalui ginjal. Alkohol sendiri tidak menimbulkan perubahan pada keseimbangan asam dan basa. Pasien yang mengalami gangguan dalam asidifikasi ginjal akan cenderung mengalami koma hepatikum. Ini disebabkan karena meningkatnya pembentukan amonia dalam ginjal dan meningkatnya amonia ke dalam pembuluh darah balik. Asidosis tubulus renalis terjadi karena kekurangan fosfat, zat putih telur atau karena sirosis hepatis. Alkohol menyebabkan terjadinya hiperventilasi sehingga bisa terjadi alkalosis respiratorik. Emesis pada putus alkohol dapat menyebabkan terjadinya alkalosis metabolik dan hipokalemia.1
Alkohol dapat menyebabkan terjadinya diuresis. Pengaruh alkohol pada manusia antara lain mengubah respon hipotalamus terhadap perubahan osmolalitas plasma. Dalam keadaan normal, bila osmolalitas plasma meningkat maka hormon antidiuretik dalam plasma meningkat pula sehingga mengurangi produksi urine. Kadar alkohol yang meningkat secara akut akan memperbanyak urine, sedangkan pada waktu putus alkohol akan bekerja pengaruh antidiuretik. Pada penyalahgunaan alkohol yang kronis di mana terjadi kerusakan pada hepar dapat terjadi retensi air karena tingginya ADH (Anti Diuretik Hormon) sehingga terjadi keracunan air.1

d. Pankreas
Penyalahgunaan alkohol baik secara akut maupun kronis dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada struktur dan fungsi pankreas, yaitu perubahan pada membran sel, meningkatkan fluiditasnya dan mengubah permeabilitasnya terhadap ion, asam amino, dan senyawa lain yang penting untuk metabolisme sel. Melalui mekanisme neurohumoral, alkohol mengubah sekresi kelenjar eksokrin pankreas. Alkohol dapat menyebabkan nekrosis akut, edema akut, pankreatitis akut, kronik maupun asimtomatik, mungkin melaui aktivasi zimogen yang tidak memadai.1,2

e. Saluran Cerna
Alkohol secara akut mempengaruhi motilitas esofagus, memperruk refluks esofagus sehingga dapat terjadi pneumonia karena aspirasi. Alkohol merupakan predisposisi terjadinya sindroma Barrett dan kanker esofagus. Sejauh ini tidak ada bukti bahwa alkohol mempengaruhi sekresi asam lambung, tetapi alkohol jelas merusak selaput lendir lambung sehingga dapat menimbulkan gastritis dan pendarahan lambung. Tidak ada bukti bahwa alkohol menyebabkan ulkus peptikum. Alkohol secara akut maupun kronis mengubah morfologi dan stuktur intraseluler makanan dengan akibat terjadinya kondisi kurang gizi. Perubahan intraseluler itu juga dapat menyebabkan diare. Alkohol mempunyai kaitan dengan insidensi kanker sepanjang saluran pencernaan.1

f. Otot
Miopatia alkoholika akut adalah suatu sindroma nekrosis otot secara tiba-tiba pada seorang yang secara terus-menerus minum alkohol (binges drinking). Ditandai dengan adanya rasa nyeri pada otot, mioglobinuria, dan meningkatnya serum kreatin kinase. Miopatia alkoholika kronis ditandai dengan adanya kelemahan otot-otot proksimal dan atrofi otot-otot. Miopatia alkoholika ini mungkin disebabkan gangguan keseimbangan elektrolit, yaitu turunya kadar kalium, turunnya kadar fosfat dalam darah, serta adanya defisiensi magnesium.3

g. Darah
Alkohol secara langsung merusak sumsum tulang, terutama prekursor eritrosit dan prekursor leukosit, sehingga menimbulkan anemia dan leukopenia. Pada pemakaian alkohol yang kronis, anemia disebabkan kurang gizi dan anemia hemolitika yang terjadi karena kerusakan pada hepar. Alkohol juga secara langsung menghambat pembentukan trombosit serta mempengaruhi fungsinya sehingga memperpanjang waktu pendarahan. Hal ini diperhebat apabila ada defisiensi asam folat dan splenomegalia. Pada pemakaian alkohol yang kronis, defisiensi vitamin K dan faktor koagulasi terjadi sebagai akibat sirosis hepatis, bukan semata-mata karena alkohol itu sendiri.1

h. Kelenjar Endokrin
Efek alkohol terhadap kelenjar endokrin yang paling jelas ialah terjadinya hipogonadisme pada pria. Alkohol melalui pengaruhnya pada testes dan hipotalamus mengurangi produksi testeron. Feminisasi pada pemakai alkohol kronis disebabkan hipogonadisme tersebut di atas dan juga karena terganggunya fungsi hepar akibat alkohol, yaitu terganggunya kemampuan untuk memecah hormon estrogen. Pada beberapa peminum alkohol kronis dapat dijumpai gejala mirip sindroma Cushing. Hal tersebut kemungkinan disebabkan efek stimulasi alkohol terhadap sekresi cortisol pada waktu intoksikasi maupun waktu putus alkohol, yang bekerja melaui ACTH atau langsung pada kelenjar adrenalis. Aksis hipofisis paling kurang mendapat pengaruh dari alkohol. Tetapi, pada penyakit hepar karena alkohol, konversi T4 ke T3 menurun, sedangkan konversi T3 ke T4 meningkat. Thyroid binding protein juga berkurang. Kedua hal tersebut di atas menyebabkan perubahan pada pemeriksaan darah tetapi secara klinis tidak sampai menimbulkan hipotiroidisme. Hormon pertumbuhan dan prolaktin rupanya juga dipengaruhi oleh alkohol tetapi data mengenai hal ini belum banyak.1

i. Sistem Imunitas
Kemungkinan menderita penyakit infeksi pada peminum alkohol bertambah besar karena beberapa faktor, antara lain1:
1. Terhalangnya daya tahan mekanik terutama pada sistem pernafasan. Menurunnya kesadaran, terganggunya penutupan glotis, dan berkurangnya gerakan pernafasan karena sirosis hepatitis pada peminum alkohol yang kronis merupakan faktor predisposisi terjadinya pneumonia.
2. Menurunnya daya tahan tubuh karena faktor makanan.
3. Daya tahan tubuh, terganggunya produksi imunoglobulin, dan berkurangnya sintesa komplemen C. di samping menurunkan imunitas humoral, pemakaian alkohol dalam jumlah banyak dan lama juga menurunkan imunitas seluler karena terjadinya leukopenia, menimbulkan cacat pada kemotaksis, menghambat mobilitas daya ikat leukosit polimorfonuklear, menghambat mitogenesis sel T, menghambat kerja makrofag alveoler sehingga pulmonary clearance terganggu.

j. Alkohol dan Berbagai Dampak negatif lainnya
Penyakit Machiavava-Bignami
Penyakit Machiavava-Bignami sangat jarang terjadi yaitu adanya demielinisasi pada korpus kalosum. Pada keadaan ini, dijumpai keterlibatan kedua lobus frontalis dan disfusi kedua hemisferium serebri. Secara klinis, pasien memperlihatkan gejala disartria, afasia, gangguan langkah kaki dan gerakan halus, tonus otot meningkat, perseverasi, inkontinensia urine, timbulnya kembali refleks primitif (menggenggam, menyedot), kesadaran berkabut, gangguan orientasi, agitasi, halusinasi, dan kadang-kadang kejang umum. Oleh karena gejala tersebut mirip dengan gejala keracunan sianida, diperkirakan ada hubungannya dengan intoksikasi endogen karena sianida yang berasal dari vitamin B12. hal tersebut mungkin disebabkan oleh pengaruh langsung alkohol, di samping karena faktor makanan.3

Ambliopia Tembakau Alkohol
Ambliopia tembakau-alkohol sering juga disebut sebagai ambliopia nutrisional, dan merupakan gangguan pada penglihatan yang paling sering dijumpai pada peminum alkohol. Ditandai dengan adanya penglihatan yang kabur dan redup secara berangsur dan adanya skotoma sentralis bilateral dan simetris terutama untuk warna merah dan hijau. Fundi biasanya normal.3

Demensia Alkoholika
Berkurangnya kemampuan kognitif yang difus disebabkan oleh atrofi korteks serebri akibat penggunaan alkohol yang kronis dan banyak. Pada beberapa peminum alkohol muda usia, kelainan ini bersifat reversibel bila pemakaian alkohol dihentikan. Pada suatu penelitian, ditemukan bahwa setiap pasien dengan demensia alkoholika dijumpai adanya riwayat ensefalopatia Wernick subakut maupun kronis yang tidak berkembang penuh. Diduga demensia alkoholika disebabkan oleh ensefalopatia Wernick, akibat toksik alkohol itu sendiri, dan neuron yang kekurangan zat gizi.2

Stroke dan Alkohol
Minum alkohol secara berlebihan dapat meningkatkan risiko mendapat serangan stroke (3 kali lebih besar) terutama pada anak muda. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebagai penyebab ialah rebound thrombocytosis, perubahan otoregulasi aliran darah ke otak, aritmia kordis, hipertensi, dan hiperlipidemia.1

Hipotermia pada Peminum Alkohol
Penyalahgunaan alkohol merupakan penyebab yang paling umum dari accidental hypothermia. Suhu badan peminum turun bersamaan dengan turunnya kesadaran. Di samping itu, pupil mengalami miosis dan reaksinya melambat, refleks tendo berkurang, sedangkan tonus otot meningkat. Mortalitas accidental hypothermia sebesar 30-80% disebabkan efek vasodilatasi dan depresi pernafasan.1

Status Epileptikus
Putus alkohol, trauma kapitis, dan gangguan metabolisme adalah faktor-faktor utama yang bertanggung jawab terhadap terjadinya status epileptikus pada pasien onepileptik.1

Fetal Alcohol Syndrome (FAS)
Minum alkohol dalam jumlah banyak pada waktu hamil dapat menimbulkan kelainan pada janin. Pengaruh tadi beraneka ragam bergantung pada banyaknya dan waktu minuman beralkohol itu dikonsumsi. Diperkirakan efek tersebut pada muka berupa fisura palpebra yang pendek, bibir atas yang hipoplastik dengan vermilion yang tipis, filtrum yang berkurang atau menghilang, gagguan pertumbuhan, defek pada jantung dan tulang.1

Pengaruh Alkohol terhadap Peri Laku Seksual
Dalam jumlah sedikit alkohol dapat meningkatkan secara tidak langsung kemampuan seksual seseorang karena efek alkohol yang menekan pusat inhibsi (pengendalian diri). Walaupun demikian, harus diingat bahwa efek alkohol terhadap perilaku seksual tidak hanya ditentukan oleh jumlah alkohol yang dikonsumsi tetapi juga oleh kondisi mental dan emosional si pemakai, kondisi fisik, serta suasana dan harapan si pemakai alkohol. Dalam jumlah banyak, alkohol justru menghambat perilaku seksual. Pada peminum alkohol kronis dalam jumlah berlebihan dapat terjadi efek merugikan fungsi seksual dirinya sendiri, mitra perkawinannya, maupun keturunannya. Alkohol sering disalahgunakan dalam kejahatan nonseksual maupun kejahatan seksual seperti perkosaan dan insest.1

Alkohol dan Kriminalitas
Menurut penelitian di Amerika Serikat terhadap para narapidana, 80% daripadanya melakukan kejahatan di bawah pengaruh alkohol. Ini disebabkan alkohol mempunyai sifat menekan pusat pengendalian diri yang terdapat pada korteks serebri. Dengan demikian, yang bersangkutan menjadi lebih berani dan agresif. Walaupun demikian, jahat tidaknya seseorang tidak hanya ditemukan oleh konsumsi alkohol tetapi juga faktor kepribadian dan lingkungan.1

Alkohol dan Keselamatan Lalu Lintas
Mengendarai kendaraan bermotor atau menjalankan mesin setelah minum alkohol dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain, karena kecermatan penglihatan seseorang berkurang apabila ia minum alkohol. Juga kemampuan membedakan warna terganggu, misalnya membedakan warna lampu lalu lintas merah atau hijau yang sedang menyala. Koordinasi motorik juga terganggu oleh alkohol sehingga keterampilan memegang kemudi, menginjak rem, kopling, dan menggerakkan perseneling terganggu. Karena hambatan pada pusat inhibisi oleh alkkohol, orang menjadi lebih berani dan nekat.akhirnya perlu disebutkan di sini bahwa alkohol memperlambat waktu reaksi terhadap rangsang cahaya maupun suara.1
Oleh karena bahaya-bahaya tersebut di atas, maka ada ketentuan bagi pengendara kendaraan bermotor agar pada waktu mengemudi kadar alkohol dalam darah tidak lebih tinggi daripada batas maksimal yang diperbolehkan. Batas kadar alkohol tertinggi dalam darah yang masih diperbolehkan tidak sama untuk setiap negara, tetapi umumnya berkisar antara 0,05 – 0,08% Minuman keras memiliki kadar alkohol yang berbeda-beda. Untuk meminumnyapun biasanya dipakai gelas model tertentu. Begitu pula bentuk dan besar botol kemasnya berbeda-beda. 1 standar Unit minuman beralkohol adalah ekivalen dengan 1 cc (= 10 gram alkohol absolut). Itu kira-kira sama dengan 1/2 pint bir = 1 tot spiris = 1 gelas sherry = 1 gelas anggur. 1 botol anggur kurang lebih sama banyak dengan 7 gelas anggur. 1 botol sherry kira-kira sama banyak dengan 12 gelas sherry dan 1 botol spiris sama dengan 28 tot spiris. Minum alkohol sampai batas 30 gram alkohol sehari akan melindungi terhadap infark jantung. Royal College of Psychiatriss menentukan batas 60-80 gram alkohol sehari tidak membahayakan kesehatan.1

Keracunan Alkohol
a. Definisi
Seseorang dikatakan mengalami keracunan alcohol apabila jumlah alcohol yang dikonsumsi melebihi toleransi individu dan menimbulkan gangguan fisik dan mental. Takaran alkohol untuk menimbulkan gejala keracunan bervariasi begantung dari kebiasaan minum dan sensitifitas genetic perorangan. Umumnya 35 gram alkohol menyebabkan penurunan kemapuan untuk menduga jarak dan kecepatan serta menimbulkan euphoria.4 Alkohol sebanyak 75-80 gram akan menimbulkan gejala keracunan akut dan 250-500 gram alkohol dapat merupakan takaran fatal. Sebagai gambaran dapat dikemukan di sini kadar alkohol darah dari konsumsi 35 gram alkohol dengan menggunakan rumus sebagai berikut1:
a = c x p x r
a = jumlah alkohol yang diminum
c = kadar alkohol darah (mg%)
p = berat badan (kg)
r = konstanta (0,007)

b. Tanda dan gejala keracunan
Pada kadar yang rendah (10-20 mg%) sudah menimbulkan gangguan berupa penurunan keterampilan tangan dan perubahan tulisan tangan. Pada kadar 30-40 mg% telah timbul penyempitan lapangan pandang, dan penurunan ketajaman penglihatan. Sedangkan pada kadar ± 80 mg% telah terjadi gangguan penglihatan tiga demensi dan gangguan pendengaran, selain itu tampak pula gangguan pada kehidupan psikis, yaitu penurunan kemampuan memusatkan perhatian, konsentrasi, asosiasi dan analisa.1,3
Ketermpilan mengemudi mulai menurun pada kadar alkohol darah 30-50 mg% dan lebih jelas lagi pada kadar 150 mg%. alkohol dengan kadar dalam darah 200 mg% menimbulkan gejala banyak bicara, refleks menurun. Inkoordinasi otot-otot kecil, kadang-kadang nistagmus dan sering terdapat pelebaran pembuluh darah kulit. Dalam kadar 250-300 mg% menimbulkan gejala penglihatan kabur, tidak dapat mengenali warna, konjungtiva merah, dilatasi pupil (jarang konstriksi, diplopia, sukar memusatkan pandangan/penglihatan dan nistagmus. Bila kadar dalam darah dan otak semakin meningkat akan timbul pembicaraan kacau, tremor tangan dan bibir, keterampilan menurun, inkoordinasi otot dan tonus otot muka menghilang. Dalam kadar 400-500 mg% aktifitas motorik hilang sama sekali., timbul stupor atau koma, pernapasan perlahan dan dangkal, suhu tubuh menurun.3

Tabel 1. Efek Depresesan Alkohol pada sistem saraf pusat3
Tingkat Keracunan Konsentrasi Alkohol (mg/100ml) Gejala klinis
Sobriety 10-50 Umumnya tidak menimbulkan efek, mungkin menimbulkan efek relaks
Euphoria 30-120 • Eupforia ringan disertai banyak bicara
• Meningkatnya kepercayaan diri
• Kegagalan melakukan aktivitas motorik terampil.
Excitement 90-200 • Instabilitas emosi
• Hilangnya persepsi sensai
• Kegagalan mengingat secara komprehensif
• Inkoordinasi dan kehilangan keseimbangan
Drunkness 150-300 • Disorientasi, bingung
• Gangguan penglihatan, seperti diplopia
• Berkurangnya sensai nyeri
• Sempoyongan
• Bicara kacau
Stupor 250-400 • Paralisis umum
• Berkurangnya respon terhadap stimulus
• Tidak mampu berdiri tegak
• Muntah, inkontinensia urin dan alvi
Coma 350-500 • Coma dan anestesi
• Reflex terhambat/(-)
• Depresi system kardiovaskuler dan respirasi
• Mungkin dapat terjadi kematian
Death >450 • Kematian akibat depresi system pernapasan
Kriteria diagnosis keracunan alkohol menurut DSM-IV2,3:
• Perubahan perilaku atau psikologis yang tidak semestinya dan signifikan karena mencerna alkohol
• Terdapat satu atau lebih dari tanda tanda, cara bicara yang seperti tertelan, koordinasi yang terganggu, cara berjalan yang sempoyongan, nystagmus, hambatan dalam perhatian dan ingatan, stupor atau koma.

2.5 Keracunan Kronik Alkohol
a. Saluran pernapasan
Alkohol takaran tinggi dalam waktu lama akan menimbulkan kelainan pada selaput lendir mulut, kerongkongan dan lambung berupa gastritis kronis dengan aklohidria, gastritis erosive hemoragik akut serta pengkreatitis hemoragik dan dapat pula terjadi malabsorpsi. Timbulnya tumor ganas di mulut dan kerongkongan dihubungkan dengan iritasi kronik pada pencandu alkohol.1,3

b. Hati
Terjadi penimbunan lemak dalam sel hati, kadar SGOT, trigliserida, dan asam urat meningkat. Hepatitis pada alkoholisme dapat menyebabkan hepatitis alkoholik yang kemudian dapat berkembang menjadi sirosis dan hepatoma.1

c. Jantung
Dapat terjadi kardiomiopati alkoholik dengan payah jantung kiri atau kanan dengan distensi pembuluh balik leher nadi lemah dan edema perifer. Bila korban meninggal pada jantung mungkin dijumpai hipertrofi kedua ventrikel, fibrosis endokard, dengan tanda trombi mural pada otot jantung. Pada pemeriksaan histologi akan dijumpai fibrosis interstitial, hipertropi, vakuolisasi, dan edema serat-serat otot jantung.1

d. Sistem musculoskeletal
Dapat ditemukan miopati alkoholik. Pada pemeriksaan histopatologi dijumpai atropi serat dan perlemakan jaringan otot.1

e. Sistem saraf
Dapat terjadi polyneuritis atau neuropati perifer akibat degenerasi serabut saraf dan myelin. Selain itu mungkin pula tejadi sindroma Marchiavafa Bignami dengan kerusakan terutama pada korpus kalosum, komisura anterior, traktus optikus, masa putih subkortikal dan pedunkulus serebeli. Pada alkoholisme akroik sering terjadi gangguan nutrisi akibat kebiasaan makanan yang kurang baik, sehingga timbul kelainan dengan gejala-gejala seperti defisiensi vitamin B1 (beri-beri), asam nikotinat, riboflavin, vitamin B
Sebab dan Mekanisme Kematian
Mekanisme kematian pada alkoholisme kronik terutama akibat gagal hati dan rupture varises esophagus akibat hipertensi portal. Selain itu dapat disebabkan secara sekunder oleh pneumonia dan tuberkulosa. Peminum alkohol sering terjatuh dalam keadaan mabuk dan meninggal pada autopsi dapat ditemukan memar korteks serebri, hematoma subdural akut atau kronik. Depresi pusat pernapasan terjadi pada kadar alkohol dalam darah 450 mg%. pada kadar 500-600 mg% dalam darah penderita biasanya meninggal dalam 1-4 jam, setelah koma selama 10-16 jam.1,3

Pemeriksaan Kedokteran Forensik
Pada orang hidup bau alkohol yang keluar dari udara pernapasan merupakan petunjuk awal. Petunjuk ini harus dibuktikan dengan pemeriksaan kadar alkohol darah, baik melalui pemeriksaan udara pernapasan atau urin , maupun langsung dari darah vena. Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas, mungkin ditemukan gejala-gejala yang sesuai dengan asfiksia. Seluruh organ menunjukkan tanda pembendungan, darah lebih encer, dan berwarna merah gelap. Mukosa lambung menunjukkan tanda pembendungan, kemerahan, dan tanda inflamasi, tetapi tidak ditemukan kelainan.1
Organ-organ termasuk otak dan darah berbau alkohol. Pada pemeriksaan histopatologik dapat dijumpai edema dan pelebaran pembuluh darah otak dan selaput otak, degenerasi hidropik, pada bagian parenkim organ dan inflamasi mukosa saluran cerna.1

Laboratorium
Bau alkohol bukan merupakan diagnosis pasti keracunan. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan kuntitatif kadar alkohol darah. Kadar alkohol udara ekspirasi dan urin dapat dipaki sebagai pilihan kedua. Untuk korban meninggal, sebagai pilihan kedua dapat diperiksa kadar alkohol dalam otak, hati, atau organ lain atau cairan tubuh lain seperti cairan serebrospinal.1
Salah satu cara penentuan semikuantitatif kadar alkohol dalam darah atau urin yang cukup sederhana adalah Teknik Modifikasi Mikrodifusi (Conway).1

Kehamilan dengan hipertiroid dan hipertensi kronis

|

Kehamilan dengan hipertiroid dan hipertensi kronis

Hipertiroidisme adalah suatu sindroma klinik akibat meningkatnya sekresi hormon tiroid baik T4, T3 atau kedua-duanya. Hipertiroidisme, 90% disebabkan oleh penyakit Graves dan struma noduler baik noduler soliter maupun noduler multipel. Setelah diabetes, hipertiroidismisme yang tidak terobati atau yang pernah diobati sebelumnya adalah gangguan endokrin yang paling sering ditemukan dalam kehamilan.Therapi diperlukan untuk mencegah komplikasi pada ibu dan janin,jika tidak diobati maka angka kelahiran mati meningkat menjadi 8-15% dan kelahiran prematur bisa terjadi sampai pada seperempat pasien yang terkena.1
Penyakit Graves pada umumnya ditemukan pada usia reproduktif antara 20-40 tahun, sedangkan Hipertiroidisme akibat nodul toksik ditemukan pada umur yang lebih tua yaitu antara 40-60 tahun. Oleh karena Hipertiroidisme Graves pada umumnya ditemukan pada masa reproduktif maka hampir selalu Hipertiroidisme Graves ditemukan pada kehamilan. Yang sangat menarik bahwa penyakit Graves sering menjadi berat pada trimester pertama kehamilan, sehingga insidensi tertinggi hipertiroidisme pada kehamilan akan ditemukan terutama pada umur kehamilan trimester pertama. Pada kehamilan yang lebih tua, penyakit Graves mempunyai kecenderungan untuk remisi dan akan mengalami eksaserbasi pasca persalinan.2,3
Hipertiroidisme tanpa pengobatan yang adequat akan mengakibatkan abortus, bayi lahir prematur (11,25%), bayi lahir dengan berat badan rendah, toksemia dan krisis tiroid pada saat persalinan. Penyakit tiroid ditemukan pada 2-5 % wanita dan 1-2 % dari seluruh wanita yang berada dalam kelompok usia reproduktif. Masalah tiroid tidak jarang ditemukan menjadi masalah dalam kehamilan. Penyakit Grave’s timbul 0,2 % dalam kehamilan dan kejadian neonatal yang dilahirkan dengan hipertiroid hanya 1 % dari ibu yang menderita hipertiroid.4,5
Hipertensi dalam kehamilan (HDK), adalah suatu keadaan yang ditemukan sebagai komplikasi medik pada wanita hamil dan sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin. Komplikasi hipertensi pada kehamilan terjadi kira-kira 5-10% dari semua kehamilan dan merupakan penyebab terpenting dari tingginya angka kematian pada ibu hamil termasuk abruptio placenta, intravascular koagulation.(DIC), perdarahan cerebral, gangguan fungsi hati dan ginjal akut, sedangkan pada janin akan mengakibatkan prematuritas, gangguan pertumbuhan intra utrine, aspiksia, dan kematian bayi.6,7
Secara umum HDK dapat didefinisikan sebagai kenaikan tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg yang diukur paling kurang 6 jam pada saat yang berbeda. Dari beberapa hasil penelitian restropektif tentang hipertensi pada wanita hamil menunjukkan bahwa terapi anti hipertensi menurunkan insidens stroke dan komplikasi kardiovaskular pada wanita hamil dengan tekanan darah diastolik diatas 100 mmHg. Sebagai faktor predisposisi untuk timbulnya HDK adalah adanya riwayat keluarga, umur, primigravida , multigravida, diabetes, penyakit ginjal,dan penyakit kolagen.7
Ada beberapa klasifikasi yang diajukan pada HDK, tetapi tidak ada satupun memuaskan . Hal ini disebabkan diagnosis sering ditegakkan restropektif. Klasifikasi ini penting diketahui untuk menentukan HDK karena berkaitan dengan prognosis dan penanganan. Klasifikasi HDK yang paling banyak diterima adalah dari The National High Blood Pressure Education Program Working Group On High Blood Pressure In pregnancy ( National HBPEP) 2000.7
Berdasarkan komplikasi yang ditimbulkan maka HDK harus diberikan terapi baik konservatif maupun farmakologis. Efek potensial yang merugikan terhadap ibu dan janin oleh karena pemberian obat-obat anti hipertensi kadang-kadang masih menjadi kendala dalam masalah ini.7

3.1 HIPERTIROIDISME
a. Definisi
Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif. Dengan kata lain hipertiroid terjadi karena adanya peningkatan hormon tiroid dalam darah dan biasanya berkaitan dengan keadaan klinis tirotoksikosis.3

b. Pengaturan Faal Tiroid
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid3 :
1. TRH (Thyrotrophin relasing hormon) : Hormon ini disintesa dan dibuat di hipotalamus. TRH ini dikeluarkan lewat sistem hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop hipofisis.
2. TSH (Thyroid Stimulating Hormone): Suatu glikoprotein yang terbentuk oleh sub unit (alfa dan beta). Sub unit alfa sama seperti hormon glikoprotein (TSH, LH, FSH, dan human chronic gonadotropin/hCG) dan penting untuk kerja hormon secara aktif. Tetapi sub unit beta adalah khusus untuk setiap hormon. TSH yang masuk dalam sirkulasi akan mengikat reseptor dipermukaan sel tiroid TSH-receptor (TSH-r) dan terjadilah efek hormonal sebagai kenaikan trapping, peningkatan yodinasi, coupling, proteolisis sehingga hasilnya adalah produksi hormon meningkat.
3. Umpan balik sekresi hormon. Kedua ini merupakan efek umpan balik ditingkat hipofisis. Khususnya hormon bebaslah yang berperan dan bukannya hormon yang terikat. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipofisis terhadap rangsangan TRH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri. Gangguan yodinasi tirosin dengan pemberian yodium banyak disebut fenomena Wolf-Chaikoff escape, yang terjadi karena mengurangnya afinitas trap yodium sehingga kadar intratiroid akan mengurang. Escape ini terganggu pada penyakit tiroid autoimun.

c. Efek Metabolik Hormon Tiroid
Efek metabolik hormon tiroid adalah3
1. Kalorigenik.
2. Termoregulasi.
3. Metabolisme protein: Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik.
4. Metabolisme karbohidrat: Bersifat diabetogenik, karena resorpsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis pada dosis farmakologis tinggi, dan degradasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid: T4 mempercepat sintesis kolesterol,tetapi proses degradasi kolesterol dan eksresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid, kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A: Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon tiroid.
7. Hormon ini penting untuk pertumbuhan saraf otak dan perifer, khususnya 3 tahun pertama kehidupan.
8. Lain-lain : Pengaruh hormon tiroid yang meninggi menyebabkan tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik, sehingga sering terjadi diare.

d. Efek Fisiologik Hormon Tiroid
• Efek pada perkembangan janin
Sistem TSH dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin manusia di dalam 11 minggu.Sebagian T3 dan T4 maternal diinaktivasi pada plasenta. Dan sangat sedikit hormon bebas mencapai sirkulasi janin. Dengan demikian, janin sebagian besar tergantung pada sekresi tiroidnya sendiri.3

• Efek pada konsumsi oksigen dan produksi panas
T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian melalui stimulasi Na+ K+ ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien dan testis. Hal ini berperan pada peningkatan percepatan metabolisme basal dan peningkatan kepekaan terhadap panas pada hipertiroidisme.3
• Efek kardiovaskuler
T3 merangsang transkripsi dari rantai alpha miosin dan menghambat rantai beta miosin, sehingga memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga meningkatkan transkripsi Ca2+ ATPase dalam retikulum sarkoplasmik, meningkatkan kontraksi di diastolik jantung dan meningkatkan reseptor adrenergik beta. Dengan demikian, hormon tiroid mempunyai efek inotropik dan kronotropik yang nyata terhadap otot jantung.3
• Efek Simpatik
Hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor adrenergik-beta dalam otot jantung, otot skeletal dan jaringan adiposa. Mereka juga menurunkan reseptor adrenergik-alfa miokardial. Disamping itu, mereka juga dapat memperbesar aksi katekolamin pada tempat pascareseptor. Dengan demikian, kepekaan terhadap ketokolamin meningkat dengan nyata pada hipertiroidisme, dan terapi dengan obat-obatan penyekat adrenergik-beta dapat sangat membantu dalam mengendalikan takikardi dan aritmia.3
• Efek Pulmonar
Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan hiperkapnue pada pusat pernafasan, sehingga terjadi frekuensi nafas meningkat.3
• Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme menyebabkan peningkatan produksi eritropoietin dan peningkatan eritropoiesis. Namun volume darah biasanya tidak meningkat karena hemodilusi. Hormon tiroid meningkatkan kandungan 2,3 difosfogliserat eritrosit, memungkinkan peningkatan disosiasi O2 hemoglobin dan meningkatkan penyediaan O2 kepada jaringan.3

• Efek Gastrointestinal
Hormon tiroid merangsang motillitas usus, yang dapat menimbulkan peningkatan motilitas terjadi diare pada hipertiroidisme. Hal ini juga menyumbang pada timbulnya penurunan berat badan yang sedang pada hipertiroidisme.3
• Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, meningkatkan resorbsi tulang dan hingga tingkat yang lebih kecil, pembentukan tulang. Dengan demikian, hipertiroidisme dapat menimbulkan osteopenia yang bermakna.3
• Efek Neuromuskular
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak protein struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian protein dan kehilangan jaringan otot atau miopati. Terdapat juga suatu peningkatan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot, secara klinik diamati adanya hiperfleksia pada hipertiroidisme. Hormon tiroid penting untuk perkembangan dan fungsi normal susunan syaraf pusat dan hiperaktivitas pada hipertiroidisme serta di dalam kehamilan.
• Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat
Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis hati demikian pula absorbsi glukosa usus. Dengan demikian, hipertiroidisme akan mengeksaserbasi diabetes melitus primer. Sintesis dan degradasi kolesterol keduanya meningkat oleh hormon tiroid. Efek yang terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh suatu peningkatan dari reseptor low density lipoprotein (LDL) hati, sehingga kadar kolesterol menurun dengan aktivitas tiroid yang berlebihan. Lipolisis juga meningkat, melepaskan asam lemak dan gliserol.3
• Efek Endokrin
Hormon tiroid meningkatkan pergantian metabolik dari banyak hormon dan obat-obatan farmakologi. Kecepatan produksi kortisol akan meningkat pada pasien hipertiroid dengan fungsi adrenal normal sehingga mempertahankan suatu kadar hormon sirkulasi yang normal.3
e. Etiologi
Penyebab hipertiroidisme sebagian besar adalah penyakit Graves, goiter miltinodular toksik dan mononodular toksik. Hipertiroidisme pada penyakit Graves adalah akibat antibodi reseptor TSH yang merangsang aktivitas tiroid. Sedang pada goiter multinodular toksik ada hubungannya dengan autoimun tiroid itu sendiri.8
Penyakit graves sekarang ini dipandang sebagai penyakit autoimun yang penyebabnya tidak diketahui. Terdapat predisposisi familial kuat pada sekitar 15% pasien graves mempunyai keluarga dekat dengan kelainan yang sama dan kira-kira 50% keluarga pasien dengan penyakit graves mempunyai autoantibodi tiroid yang beredar dalam darah. Wanita terkena kira-kira 5 kali lebih banyak dari pada pria. Penyakit ini terjadi pada segala umur dengan insidensi puncak pada kelompok umur 20-40 tahun.8

f. Patogenesis
Pada penyakit graves, limfosit T didensitisasi terhadap antigen dalam kelenjar tiroid dan merangsang limfosit B untuk mensintesa antibodi terhadap antigen-antigen ini. Satu dari antibodi ditunjukan terhadap tempat reseptor TSH pada membran sel tiroid dan mempunyai kemampuan untuk merangsang sel tiroid dalam peningkatan pertumbuhan dan fungsi. Adanya antibodi dalam darah berkorelasi positif dengan penyakit aktif dan kekambuhan penyakit. Ada predisposisi genetik yang mendasari, namun tidak jelas apa yang mencetus episode akut ini.3,8 Beberapa faktor yang mendorong respon imun pada penyakit graves ialah8 :
1. Kehamilan.
2. Kelebihan iodida, khusus di daerah defisiensi iodida. Dimana kekurangan iodida dapat menutupi penyakit graves laten pada saat pemeriksaan.
3. Infeksi bakterial atau viral.
Diduga stress dapat mencetus suatu episode penyakit graves, tapi tidak ada bukti yang mendukung.

g. Manifestasi Klinik
Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termaksud palpitasi, kegelisahan, ,mudah capai dan diare, banyak keringat, tidak tahan panas, dan senang dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa penurunan nafsu makan. Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksikosis pada mata, dan takikardi ringanumumnya terjadi. Kelemahan otot dan berkurangnya massa otot dapat sangat berat sehingga pasien tidak dapat berdiri dari kursi tanpa bantuan. Pada anak-anak terdapat pertumbuhan cepat dengan pematangan tulang yang lebih cepat. Pada pasien diatas 60 tahun, manifestasi kardiovaskuler dan miopati sering lebih menonjol. Keluhan yang paling menonjol adalah palpitasi, dispnea pada latihan, tremor, nervous dan penurunan berat badan3,8.
Terjadinya hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun, namun dapat juga timbul secara dramatik. Manifestasi klinis yang paling sering adalah penurunan berat badan, kelelahan, tremor, gugup, berkeringat banyak, tidak tahan panas, palpitasi, dan pembesaran tiroid. Penurunan berat badan meskipun nafsu makan bertambah dan tidak tahan panas adalah sangat spesifik, sehingga segera dipikirkan adanya hipertiroidisme3.
Penderita hipertiroidisme memiliki bola mata yang menonjol yang disebut dengan exophthalamus, yang disebabkan oleh edema daerah retro-orbita dan degenerasi otot-otot ekstraokuli. Penyebabnya juga diduga akibat proses autoimun. Exophthalamus berat dapat menyebabkan teregangnya N. Optikus sehingga penglihatan akan rusak. Exophthalamus sering menyebabkan mata tidak bisa menutup sempurna sehingga permukaan epithel menjadi kering dan sering terinfeksi dan menimbulkan ulkus kornea3.
Hipertiroidisme pada usia lanjut memerlukan perhatian khusus sebab gejala dan tanda sistem kardiovaskular sangat menonjol dan kadang-kadang berdiri sendiri. Pada beberapa kasus ditemukan payah jantung, sedangkan tanda-tanda kelainan tiroid sebagai penyebab hanya sedikit. Payah jantung yang tidak dapat diterangkan pada umur pertengahan harus dipikirkan hipertiroidisme, terutama bila ditemukan juga curah jantung yang tinggi atau atrium fibrilasi yang tidak dapat diterangkan. Pada usia lanjut ada baiknya dilakukan pemeriksaan rutin secara berkala kadar tiroksin dalam darah untuk mendapatkan hipertiroidisme dengan gejala klinik justru kebalikan dari gejala-gejala klasik seperti pasien tampak tenang,apatis,depresi dan struma yang kecil3,8.

h. Diagnosis
Manifestasi klinis hipertiroid umumnya ditemukan. Sehingga mudah pula dalam menegakkan diagnosa. Namun pada kasus-kasus yang sub klinis dan orang yang lanjut usia perlu pemeriksaan laboraturium yang cermat untuk membantu menetapkan diagnosa hipertiroid. Diagnosa pada wanita hamil agak sulit karena perubahan fisiologis pada kehamilan seperti pembesaran tiroid serta manifestasi hipermetabolik, sama seperti pada tirotoksikosis. Meskipun diagnosa sudah jelas, namun pemeriksaan laboratorium untuk hipertiroidisme perlu dilakukan, dengan alasan3 :
1. Untuk lebih menguatkan diagnosa yang sudah ditetapkan pada pemeriksaan klinis.
2. Untuk menyingkirkan hipertiroidisme pada pasien dengan beberapa kondisi, seperti atrial fibrilasi yang tidak diketahui penyebabnya, payah jantung, berat badan menurun, diare atau miopati tanpa manifestasi klinis lain hipertiroidisme.
3. Untuk membantu dalam keadaan klinis yang sulit atau kasus yang meragukan.
Menurut Bayer MF kombinasi hasil pemeriksaan laboraturium Thyroid Stimulating Hormone sensitif (TSHs) yang tak terukur atau jelas subnormal dan free T4 (FT4) meningkat, jelas menunjukan hipertiroidisme.


3.2 HIPERTIROIDISME DALAM KEHAMILAN
a. Fisiologi Tiroid Dalam Kehamilan
Peningkatan aktivitas kelenjar tiroid terlihat dari peningkatan uptake radioiodine oleh kelenjar tiroid selama kehamilan. Mulai trimester II kehamilan, kadar total triioditironin dan tiroksin serum (T3 dan T4) meningkat dengan tajam. Peningkatan sekresi tiroksin tersebut dihubungkan dengan meningkatnya degradasi plasenta. 10
Pada awal kehamilan terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerular sehingga terjadi peningkatan bersih iodida dari plasma. Keadaan ini akan menimbulkan penurunan konsentrasi plasma iodida dan memerlukan penambahan kebutuhan iodida dari makanan. Pada wanita dengan kecukupan iodida, keadaan ini hanya akan menimbulkan sedikit pengaruh terhadap fungsi tiroid karena penyimpanan iodida intratiroidal mencukupi sejak mula konsepsi dan tidak berubah selama kehamilan. Juga terjadi peningkatan kebutuhan iodine untuk keperluan sintesa iodothyronine janin melalui plasenta. Proses sintesa ini mulai berfungsi secara progresif setelah trimester pertama.11
1. Metabolisme hormon tiroid di plasenta
Plasenta mengandung enzim iodothyronine deiodinase dalam jumlah yang banyak. Deionisasi T4 yang dikatalisir oleh enzim ini merupakan sumber reverse T3 yang ditemukan dalam cairan ketuban. Kadar reverse T3 dalam ketuban ini sebanding dengan kadar T4 maternal. Enzim ini berfungsi untuk menurunkan konsentrasi T3 dan T4 dalam sirkulasi janin.10
Kadar T4 total pada hamil muda (antara 6-12 minggu),meskipun jumlahnya kecil secara kualitatif, konsentrasi seperti ini menunjukkan betapa pentingnya hormon tiroid untuk menjamin pertumbuhan yang adekuat dari unit fetomaternal.10
2. Efek hCG terhadap fungsi tiroid
Human chorionic gonadothropin (hCG) adalah hormon peptida yang disusun oleh dua sub unit disebut rantai alfa dan beta. Sub unit alfa identik dengan TSH, sementara rantai beta berbeda dengan keduanya. Dengan demikian, hormon struktur parsial antara TSH dengan hCG mengakibatkan hCG bisa bertindak sebagai hormon tirotropik.11
Selama kehamilan normal, efek stimulasi langsung hCG menimbulkan peningkatan sementara kadar tiroksin bebas hingga akhir trimester pertama (puncak sirkulasi hCG) sehingga terjadi supresi parsial TSH. Pada mola hidatidosa dan khoriokarsinoma sering timbul manifestasi hipertiroid secara klinis dan biokimia.11
3. Fisiologi Tiroid pada Janin
Sistem hipotalamus-hipofisis janin berkembang dan berfungsi secara lengkap bebas dari fungsi ibu pada kehamilan 11 minggu, setelah sistem portal hipofiseal berkembang, akan ditemukan adanya TSH dan TRH yang dapat diukur. Pada waktu yang bersamaan, tiroid janin mulai menangkap iodine. Namun sekresi hormon tiroid kemungkinan dimulai pada pertengahan kehamilan (18-20 minggu). TSH meningkat dengan cepat hingga kadar puncak pada 24-28 minggu, dan kadar T4 memuncak pada 35-40 minggu. Kadar T3 tetap rendah selama kehamilan, T4 diubah menjadi rT3 oleh deiodinase-5 tipe 3 selama perkembangan janin. Pada saat lahir, terdapat peningkatan mendadak yang nyata dari TSH, suatu peningkatan T4, suatu peningkatan T3 dan suatu penurunan rT3. parameter ini secara berangsur-angsur kembali normal dalam bulan pertama kehidupan.10

b. Hubungan Janin Ibu Pada Kehamilan Hipertiroid
Sejak mulai kehamilan terjadi perubahan-perubahan pada fungsi kelenjar tiroid ibu, sedang pada janin kelenjar tiroid baru mulai berfungsi pada umur kehamilan gestasi ke 12-16. TSH agaknya tidak dapat melalui barier plasenta. Dengan demikian baik TSH ibu maupun TSH janin tidak saling mempengaruhi. Baik T4 maupun T3 dapat melewati plasenta dalam jumlah yang sangat sedikit, sehingga dapat dianggap tidak saling mempengaruhi.3
Pasien penyakit Grave cenderung mengalami remisi pada waktu hamil dan eksaserbasi pada masa pasca persalinan. Kehamilan merupakan suatu bentuk alograf jaringan asing yang dapat berkembang tanpa penolakan tubuh. Keadaan seperti ini dapat berlangsung karena pada proses kehamilan baik imunitas humoral maupun imunitas selular ditekan. Antibodi antitiroid pada penyakit grave biasanya menurun selama kehamilan. Fungsi sel T supresor janin meningkat mencegah penolakan ibu dan juga akan menurun intensitas penyakit grave untuk sementara.8
Sesudah melahirkan sel T supresor turun kembali, maka terjadilah eksaserbasi penyakit grave pasca persalinan. Pada beberapa kasus bahkan penyakit Grave nya sama sekali tidak tampak selama kehamilan namun pasca persalinan tampak seolah-olah baru muncul. Keadaan ini lazim disebut sebagai tirotoksikosis pasca persalinan.8
Telah kita ketahui bahwa terdapat kehamilan dimana kelenjar tiroid mengalami hiperfungsi yang ditandai dengan naiknya metabolisme basal sampai 15-25% dan kadang kala disertai pembesaran ringan. Keadaan ini adalah dalam batas-batas normal.8
Ada 2 jenis :
1. Morbus Basedow (hipertiroidisme)
Gejala-gejala : eksoftalamus, tremor, hiperkinesis, takikardi, kenaikan BMR sampai 25% dan kadar tiroksin dalam darah. Kelenjar tiroid juga akan membesar
• Pengaruh kehamilan terhadap penyakit :
Kehamilan dapat membuat struma tambah besar dan keluhan penderita bertambah berat
• Pengaruh penyakit terhadap kehamilan dan persalinan :
- Kehamilan sering berakhir : abortus (abortus habitualis)
- Partus prematurus
- Kala II hendaknya diperpendek dengan ekstraksi vakum atau forseps, karena bahaya kemungkinan timbulnya dekompensasi kordis.
Pilihan pengobatan pada hipertiroid memberi obat anti tiroid dengan kehamilan terletak antara penggunaan obat anti tiroid dan pembedahan, dengan catatan bahwa obat anti tiroid merupakan pilihan pertama. Bila ingin melakukan operasi tiroidektomi lakukan pada trimester II. Bila wanita telah mempunyai beberapa anak dianjurkan memakai kontrasepsi atau melakukan tubektomi.


2. Miksedema (hipotiroidisme)
Pada kehamilan ditemukan juga takikardi, kulit yang hangat dan intoleransi terhadap hawa panas. Sehingga apabila dipakai indeks Wayne sering kali didapatkan nilai yang termaksud toksik walaupun sebenarnya keadaannya eutiroid. Meskipun demikian ada satu pegangan untuk lebih tepat menduga secara klinis suatu tirotoksikosis pada kehamilan yaitu : apabila nadi istirahat/ tidur lebih dari 100/menit atau apabila nadi tidak berkurang pada perasat valsalva. Disamping itu hasil pemeriksaan laboratorium yang umum, umpama kadar tiroksin total (T4), pada kehamilan biasa sering menunjukkan angka yang lebih tinggi dari pada non hamil sehingga mencurigakan kearah tirotoksikosis. Tetapi apabila kadarnya sampai lebih dari 15 ug/dl, hal ini menyokong diagnosis tirotoksikosis. Pemeriksaan yang lebih tepat ialah pemeriksaan kadar hormon tiroid bebas (FT4) atau indeks tiroksin bebas (FT4 I) yang menunjukkan angka yang lebih tinggi dari pada normal. Apabila secara klinis sudah sangat jelas toksik tetapi kadar FT4 normal, mungkin FT3 yang tinggi dan perlu diperiksa.

3.3 PENGOBATAN HIPERTIROIDISME
Tujuan pengobatan adalah mengendalikan tirotoksikosis ibu tanpa gangguan fungsi tiroid janin. Pengobatan yang dapat dilakukan pada tirotoksikosis kehamilan ada 2 macam yaitu : OAT (obat anti tiroid) dan pembedahan. Kehamilan merupakan kontraindikasi untuk pemberian iodium radioaktif.3,5,8
• Obat anti tiroid
Obat anti tiroid yang dianjurkan ialah golongan tionamid yaitu propilthiourasil (PTU) dan carbamizole (Neo Mercazole) . Yodida merupakan kontraindikasi untuk diberikan karena dapat langsung melewati sawar plasenta dan dengan demikian mudah menimbulkan keadaan hipotiroid janin. Wanita hamil dapat mentolerir keadaan hipertiroid yang tidak terlalu berat sehingga lebih baik memberikan dosis OAT yang kurang dari pada berlebih.
Bioavilibilitas carbamizole pada janin ± 4 kali lebih tinggi dari pada PTU sehingga lebih mudah menyebabkan keadaan hipotiroid. Melihat hal-hal tersebut maka pada kehamilan PTU lebih terpilih. PTU mula-mula diberikan 100-150 mg tiap 8 jam. Setelah keadaan eutiroid tercapai (biasanya 4-6 minggu setelah pengobatan dimulai), diturunkan menjadi 50 mg tiap 6 jam dan bila masih tetap eutiroid dosisnya diturunkan dan dipertahankan menjadi 2 kali 50 mg/hari. Idealnya hormon tiroid bebas dipantau setiap bulan. Kadar T4 dipertahankan pada batas normal dengan dosis PTU ≤ 100 mg/hari. Bila tirotoksikosis timbul lagi, biasanya pasca persalinan, PTU dinaikkan sampai 300 mg/hari. Efek OAT terhadap janin dapat menghambat sintesa hormon tiroid. Selanjutnya hal tersebut dapat menyebabkan hipotiroidisme sesaat dan struma pada bayi, walaupun hal ini jarang terjadi. Pada ibu yang menyusui yang mendapat OAT, OAT dapat keluar bersama ASI namun jumlah PTU kurang dibandingkan carbamizole dan bahaya pengaruhnya kepada bayi sangat kecil, meskipun demikian perlu dilakukan pemantauan pada bayi seketat mungkin.
• Golongan β-Bloker
Obat golongan ini tidak dianjurkan pada kehamilan karena berbagai penelitian menunjukan bahwa obat tersebut menyebabkan terjadinya plasenta yang kecil, pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat, tidak ada respon terhadap keadaan anoksia, dapat menimbulkan bradikardi dan hipoglikemia. Atas dasar ini maka golongan β- Bloker tidak dianjurkan sebagai obat pilihan pertama pada hipertiroid dengan kehamilan. Tetapi apabila sangat diperlukan umpama pada hipertiroid berat, krisis atau ancaman krisis tiroid, dapat diberikan seperti biasa.
• Tiroidektomi
Tiroidektomi secara umum sebenarnya tidak dianjurkan. Hanya perlu dilakukan bila pasien hipersensitif terhadap obat anti tiroid (OAT) atau OAT sama sekali tidak efektif, suatu hal yang sangat jarang atau pada mereka dengan gejala mekanik akibat penekanan dari struma.

• Terapi Yodium Radioaktif
Pemberian terapi maupun pemeriksaan fungsi tiroid dengan iodida radioaktif merupakan kontraindikasi pada hipertiroid dalam kehamilan, oleh karena yodida dan radiodida juga dengan mudah melewati plasenta

3.4 Hipertensi Pada Kehamilan
a. Definisi
Hipertensi dalam kehamilan (HDK), adalah suatu keadaan yang ditemukan sebagai komplikasi medik pada wanita hamil dan sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin. Komplikasi hipertensi pada kehamilan terjadi kira-kira 5-10% dari semua kehamilan dan merupakan penyebab terpenting dari tingginya angka kematian pada ibu hamil termasuk abruptio placenta, intravascular koagulation.(DIC), perdarahan cerebral, gangguan fungsi hati dan ginjal akut, sedangkan pada janin akan mengakibatkan prematuritas, gangguan pertumbuhan intra utrine, aspiksia, dan kematian bayi. 12
Secara umum HDK dapat didefinisikan sebagai kenaikan tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg yang diukur paling kurang 6 jam pada saat yang berbeda. Dari beberapa hasil penelitian restropektif tentang hipertensi pada wanita hamil menunjukkan bahwa terapi anti hipertensi menurunkan insidens stroke dan komplikasi kardiovaskular pada wanita hamil dengan tekanan darah diastolik diatas 100 mmHg. Sebagai faktor predisposisi untuk timbulnya HDK adalah adanya riwayat keluarga, umur, primigravida , multigravida, diabetes, penyakit ginjal,dan penyakit kolagen.7,12




b.Klasifikasi
Berdasarkan The National High Blood Pressure Education Programme Working Group (HBPEP) 2000, membagi HDK dalam7 :
1. Gestational Hipertensi
Disebut juga hipertensi yang di induse oleh kehamilan. Hipertensi yang di deteksi pertama kali pada kehamilan > 20 minggu tanpa proteinuria,dan menghilang sebelum 12 minggu post partum.
2. Hipertensi Kronik
Didefinisikan sebagai kenaikkan tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan atau diastolik > 90 mmHg sebelum kehamilan 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu post partum.
3. Pre Eklampsia
Hipertensi yang di deteksi sesudah kehamilan 20 minggu disertai dengan proteinuria > 0,3 gr / 24 jam
4. Eklampsia
Pre-eklampsia yang memburuk disertai kejang dan atau penurunan kesadaran yang bukan disebabkan oleh faktor lain
5. Hipertensi Kronik dengan Super impose Pre eklampsia
Didapatkan pada wanita dengan hipertensi kronik secara tiba-tiba takanan darah meningkat disertai proteinuria trombositopnia dan gangguan fungsi hati.



c. Patofisiologi
Selama kehamilan normal terdapat perubahan-perubahan dalam sistem kardiovaskuler, renal dan endokrin. Perubahan ini akan berbeda dengan respons patologi yang timbul pada HDK. Pada kehamilan trimester kedua akan terjadi perubahan tekanan darah, yaitu penurunan tekanan sistolik rata-rata 5 mmHg dan tekanan darah diastolik 10 mmHg, yang selanjutnya meningkat kembali dan mencapai tekanan darah normal pada usia kehamilan trimester ketiga. Selama persalinan tekanan darah meningkat, hal ini terjadi karena respon terhadap rasa sakit dan karena meningkatnya beban awal akibat ekspulsi darah pada kontraksi uterus. Tekanan darah juga meningkat 4-5 hari post partum dengan peningkatan rata-rata adalah sistolik 6 mmHg dan diastolik 4 mmHg.13
Pada keadaan istirahat, curah jantung meningkat 40% dalam kehamilan. Perubahan tersebut mulai terjadi pada kehamilan 8 minggu dan mencapai puncak pada usia kehamilan 20-30 minggu. Tahanan perifer menurun pada usia kehamilan trimester pertama. Keadaan ini disebabkan oleh meningkatnya aktifitas sistem renin – angiotensin aldosteron dan juga sistem saraf simpatis.13
Penurunan tahanan perifer total disebabkan oleh menurunnya tonus otot polos pembuluh darah. Volume darah yang beredar juga meningkat 40% , peningkatan ini melebihi jumlah sel darah merah, sehingga hemoglobin dan viskositas darah menurun. Terjadi penurunan tekanan osmotik plasma darah yang menyebabkan peningkatan cairan ekstraseluler, sehingga timbul edema perifer yang biasa timbul pada kehamilan normal.13
Etiologi dan patogenesis HDK belum jelas, multifaktorial dan dapat melibatkan berbagai sistem organ. Ada beberapa hipotesis yang diajukan untuk menerangkan HDK antara lain : teori reaktifitas pembuluh darah,hipoperfusi uteroplacenta,konsep imunologis dan disfungsi endotel. Pada reaktifitas pembuluh darah, kontriksi pembuluh darah merupakan tahanan bagi aliran darah dan menyebabkan hipertensi anterial.7,13
Hipoperfusi uteroplacental, timbul karena adanya ketidak seimbangan antara masa placenta dan aliran darah disertai kelainan trophoblastik. Keadaan ini dapat terjadi bila masa plasenta relatif lebih besar seperti pada kehamilan kembar dan mola hidatidosa atau pada keadaan-keadaan dimana terdapat gangguan aliran darah pada uterus seperti diabetes dan hipertensi. Pada multipara diduga karena masa placenta yang super normal tidak seimbang dengan aliran darah.13
Akhir-akhir ini patogenesis HDK dari aspek disfungsi endotel telah banyak dibicarakan dari berbagai laporan penelitian. Disfungsi endotel menyebabkan penurunan produksi Nitric Oxida (NO), yang merupakan vasodilator poten dan menghambat agregasi platelet. Penurunan NO akan meningkatkan agregasi platelet, pelepasan trombosan A2 dan serotonin. Serotonin menyebabkan peningkatan permiabilitas vaskuler dan serotonin juga menyebabkan vasodilatasi atau vasokonstriksi tergantung integritas sel endotel vaskular.7
Dalam keadaan normal reseptor serotonin (S1) endotel spesifik akan merespon serotonin dalam darah dengan akibat dilepaskannya prostasiklin dan NO oleh sel endotel sehingga terjadi vasodilatasi. Sedangkan pada HDK yang ditandai dengan menghilangnya reseptor S1 endotel dan meningkatnya serotonin yang diproduksi oleh platelet 10 kali lebih tinggi dalam darah akan mengakibatkan serotonin hanya dapat bereaksi dengan reseptor S2 di otot polos vaskuler dan platelet yang menghasilkan vasokontriksi.7,13
d. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Kehamilan
Secara umum tujuan tata laksana HDK dengan atau tanpa proteinuria adalah sama, yaitu untuk melindungi ibu dari berbagai komplikasi termasuk kardiovaskuler dan melanjutkan kehamilannya sampai persalinan yang aman. Tata laksana ini meliputi pengelolaan secara umum dan khusus baik konservatif maupun dengan terminasi kehamilan . Pembahasan tata laksana disini akan lebih menekankan masalah tekanan darah, tentunya dengan mengetahui bahwa meningkatnya tekanan darah bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapai pada HDK.7,14
1. Terapi Konservatif
Terapi konservatif dilakukan bila tekanan darah terkontrol ( sistolik < 140 mmHg, diastolik 90 mmHg, proteinuria < +2 ( 1 gr/hari), trombosit > 100.000, keadaan janin baik (USG, Stress test). Faktor yang sangat menentukan terapi konservatif adalah umur kehamilan. Jika HDK disertai proteinuria berat dan kehamilan > 36 minggu maka terminasi kehamilan perlu dilakukan. Apabila kehamilan < 36 minggu, maka dilakukan terapi konservatif jika : tekanan darah stabil < 150mmHg dan diastolik < 95 mmHg, proteinuria <+2, keadaan janin dan ketuban normal, trombosit > 100.000.
2. Terminasi Kehamilan
Bila selama terapi konservatif, ditemukan hal-hal dibawah ini maka dilakukan terminasi kehamilan.
Dari Sudut Ibu:
- Sakit kepala hebat, gangguan penglihatan
- Tekanan darah sistolik > 170 mmHg dan atau diastolik > 110 mmHg
- Oliguria < 400 ml/ 24 jam
- Fungsi ginjal dan hepar memburuk
- Nyeri epigartium berat, mual, muntah
- Suspek abruptio placenta
- Edema paru dan sianosis
- Kejang dan tanda-tanda perdarahan intracerebral pada eklampsia
Dari Sudut Janin
- Pergerakan janin menurun
- Olygohidro amnion


3. Pengobatan Medikamentosa
Tujuan dalam menurunkan tekanan darah telah disepakati dianggap optimal bila sistolik < 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg.Ada beberapa konsensus kapan kita menggunakan obat anti hipertensi pada HDK antara lain:
a. Segera
Bila tekanan darah sistolik > 169 mmHg dan diastolik > 109 mmHg dengan gejala klinis.
b. Setelah observasi 1-2 jam
Bila tekanan darah sistolik > 169 mmHg dan atau diastolik > 109 mmHg tanpa gejala klinis.
c. Setelah observasi 24-48 jam
- Bila tekanan darah sistolik > 139 mmHg dan atau diastolik > 89 mmHg sebelum kehamilan 28 minggu tanpa proteinuria
- Bila tekanan darah sistolik > 139 mmHg dan atau diatolik > 89 mmHg pada wanita hamil dengan gejala klinis, proteinuria, disertai penyakit lain ( kardiovaskular, ginjal), Super imposed hipertension

PENATALAKSANAAN KETUBAN PECAH DINI PADA KEHAMILAN PRETERM

|

PENATALAKSANAAN KETUBAN PECAH DINI
PADA KEHAMILAN PRETERM
PENDAHULUAN
Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi korioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi ibu.1
Insidensi ketuban pecah dini lebih kurang 10% dari semua kehamilan. Pada kehamilan aterm insidensinya bervariasi 6-19%. Sedangkan pada kehamilan preterm insidensinya 2% dari semua kehamilan. Hampir semua KPD pada kehamilan preterm akan lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi dalam satu minggu setelah selaput ketuban pecah.2 Sekitar 85% morbiditas dan mortalitas perinatal disebabkan oleh prematuritas. Ketuban pecah dini berhubungan dengan penyebab kejadian prematuritas dengan insidensi 30-40%. Neonatologis dan ahli obstetri harus bekerja sebagai tim untuk memastikan perawatan yang optimal untuk ibu dan janin.3
Etiologi pada sebagian besar kasus tidak diketahui. Penelitian menunjukkan infeksi sebagai penyebabnya. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kondisi sosial ekonomi rendah yang berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan antenatal, penyakit menular seksual misalnya disebabkan oleh Chlamydia trachomatis dan Neischeria gonorrhea.2
Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan.1 Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera bersikap aktif terutama pada kehamilan yang cukup bulan atau harus menunggu sampai terjadinya proses persalinan sehingga masa tunggu akan memanjang, yang berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPD kehamilan kurang bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan janin yang cukup.2
3.1 Definisi
Ketuban pecah dini atau premature rupture of the membranes (PROM) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum adanya tanda-tanda persalinan. Jika ketuban pecah sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini kehamilan preterm atau preterm premature rupture of the membranes (PPROM). 4

3.2 Etiologi
Walaupun banyak publikasi tentang KPD, namun penyebabnya masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predisposisi adalah:2
1. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun ascenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. Penelitian menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama ketuban pecah dini
2. Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, kuretase)
3. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya tumor, hidramnion, gemelli
4. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabkan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi
5. Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
6. Keadaan sosial ekonomi yang berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan antenatal, penyakit menular seksual misalnya disebabkan oleh Chlamydia trachomatis dan Neischeria gonorhoe. (ANDALAS)
7. Faktor lain yaitu:
a. Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu
b. Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum
c. Defisiensi gizi dari tembaga dan vitamin C
Membrana khorioamniotik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Infeksi merupakan faktor yang cukup berperan pada persalinan preterm dengan ketuban pecah dini. Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban.2

3.3 Diagnosis
Diagnosis KPD didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Dari anamnesis 90% sudah dapat mendiagnosa KPD secara benar. Pengeluaran urin dan cairan vagina yang banyak dapat disalahartikan sebagai KPD.2
Pemeriksaan fisik kondisi ibu dan janinnya. Tentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi antara lain bila suhu ibu ≥38°C. Janin yang mengalami takikardi, mungkin mengalami infeksi intrauterin.2
Pemeriksaan inspekulo secara steril merupakan langkah pemeriksaan pertama terhadap kecurigaan KPD. Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau megadakan manuvover valsava, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada forniks posterior. 3 Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa warna, bau dan pH nya. Air ketuban yang keruh dan berbau menunjukkan adanya proses infeksi.1
Tentukan pula tanda-tanda inpartu. Tentukan adanya kontraksi yang teratur. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan. Periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan) antara lain untuk menilai skor pelvik dan dibatasi sedikit mungkin.1 Pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. 2
Pemeriksaan penunjang diagnosis antara lain:2
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Tes lakmus (tes Nitrazin): jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis) karena pH air ketuban 7 – 7,5 sedangkan sekret vagina ibu hamil pH nya 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap berwarna kuning. Darah dan infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif palsu.
b. Mikroskopik (tes pakis): dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.
2. Pemeriksaan ultrasonografi USG
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri dan konfirmasi usia kehamilan. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sedehana.

3.4 Komplikasi
Ada tiga komplikasi utama yang terjadi yaitu peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatal oleh karena prematuritas, komplikasi selama persalinan dan kelahiran yaitu risiko resusitasi, dan yang ketiga adanya risiko infeksi baik pada ibu maupun janin. Risiko infeksi karena ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina normal yang ada bisa menjadi patogen yang bisa membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya. Morbiditas dan mortalitas neonatal meningkat dengan makin rendahnya umur kehamilan.
Komplikasi pada ibu adalah terjadinya risiko infeksi dikenal dengan korioamnionitis. Dari studi pemeriksaan histologis cairan ketuban 50% wanita yang lahir prematur, didapatkan korioamnionitis (infeksi saluran ketuban), akan tetapi sang ibu tidak mempunyai keluhan klinis. Infeksi janin dapat terjadi septikemia, pneumonia, infeksi traktus urinarius dan infeksi lokal misalnya konjungtivitis.
3.5 Penatalaksanaan
Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan.1

3.5.1 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan Preterm
Penatalaksanaan ketuban pecah dini pada kehamilan preterm berupa penanganan konservatif, antara lain:1
- Rawat di Rumah Sakit, ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu
- Berikan antibiotika (ampisilin 4x500 mg atau eritromisin bila tidak tahan ampisilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari
- Jika umur kehamilan < 32-34 minggu dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar lagi
- Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memacu kematangan paru janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Sedian terdiri atas betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari atau deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali
- Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa (-): beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu
- Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam
- Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi
- Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin)

3.5.2 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan Aterm
Penatalaksanaan ketuban pecah dini pada kehamilan aterm berupa penanganan aktif, antara lain:1
- Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesaria. Dapat pula diberikan misoprostol 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.
- Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi, dan persalinan di akhiri:
a. bila skor pelvik < 5 lakukan pematangan serviks kemudian induksi. Jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria.
b. bila skor pelvik > 5 induksi persalinan, partus pervaginam.