|

MANFAAT PEMERIKSAAN RADIOLOGI
PADA KELAINAN TELINGA
oleh Kamisah
Bagian Ilmu Penyakit THT FK UNRI RSUD Arifin Achmad Pekanbaru

1.1 PENDAHULUAN
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan keseimbangan). Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.1
Indra pengindraan dan keseimbangan serta penghantar suara terletak dalam tulang temporal, yang ikut membentuk kubah tengkorak dan tulang pipi. Tulang temporal terdiri dari bagian skuamosa, bagian timpani, bagian mastoid, dan pars petrosa. Bagian skuamosa os temporal sebagian besar tipis dan cembung kearah luar sebagai tempat perlengketan muskulus temporalis. Bagian timpani berbentuk suatu silinder yang tidak sempurna, bersama-sama dengan bagian skuama membentuk liang telinga luar bagian tulang. Bagian terbesar os temporal dibentuk oleh bagian mastoid. Bagian mastoid mengalami pneumatisasi yang luas. Pars petrosa yang disebut sebagai pyramid petrosa yang berisi labirin telinga. Bagian superior tulang ini membentuk permukaan inferior fossa kranii media.1,2

Gambar 1. Anatomi Tulang temporal (dikutip dari kepustakaan 1)
Secara anatomi dan fungsional, telinga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.1,2

1. Anatomi Telinga Luar
Telinga luar ialah bagian telinga yang terdapat sebelah luar membrane timpani. Bagian ini terdiri dari daun telinga dan liang telinga. Da un telinga merupakan suatu lempeng tulang rawan yang ditutupi oleh kulit dan dipertahankan pada tempatnya oleh otot dan ligamentum. Sepertiga liang telinga luar dibentuk oleh perluasan tulang rawan daun telinga dan dua per tiga bagian dalam dibentuk oleh pars timpani dan pars skuamosa os temporal.1,2

Gambar 2. Anatomi Telinga (dikutip dari kepustakaan 3)

2. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, prosesus mastoideus dan tuba eustachius.
a. Membran Timpani
Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani dan memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Letak membrana timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar ke depan dalam dan membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal. Membrana timpani merupakan kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut menonjol kearah kavum timpani, puncak ini dinamakan umbo. Dari umbo ke depan bawah tampak refleks cahaya ( cone of light).1
Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan diameter transversal 2-6 mm.
b. Tuba Eustachius
Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani. bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring.1,2
Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga yaitu mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drenase sekret dari kavum timpani ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke kavum timpani.1,2
c. Prosesus Mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum.1
1. Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal. Organ untuk pendengaran (koklea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga kranial VII (nervus fasialis) dan VIII (nervus koklea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari komplek anatomi. Koklea dan kanalis semisirkularis bersama menyusun struktur labirin. Ketiga kanalis semisirkularis posterior, superior dan lateral terletak membentuk sudut 90 derajat satu sama lain yang berisi organ keseimbangan. Organ ahkir reseptor ini distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah gerakan seseorang.1,2




1.2 PEMERIKSAAN RADIOLOGI TELINGA
Pemeriksaan radiologi merupakan alat penunjang diagnostik yang penting dalam diagnosis penyakit telinga. Setelah memperoleh riwayat lengkap dan pemeriksaan telinga tengah dan mastoid yang cermat dengan otoskop, maka dapat diputuskan perlu tidaknya pemeriksaan radiologis.4 Pemeriksaan radiologi pada telinga berfungsi untuk menentukan5:
a. Struktur anatomi tulang mastoid, meliputi sel udara mastoid, diploe dan sklerotik mastoid.
b. Mendeteksi adanya perubahan patologis seperti perselubungan pada sel mastoid, erosi pada tulang dan pembentukan kavitas.
c. Keadaan telinga dalam, kanalis auditorius interna, kanalis semisirkularis dan nervus fasialis.
d. Keadaan tulang-tulang pendengaran pada telinga tengah.

Pemeriksaan radiologi yang penting adalah pemeriksaan tulang temporal. Oleh karena, tulang temporal mempunyai struktur anatomi yang overlapped dengan beberapa struktur tulang tengkorak lainnya. Tulang temporal merupakan struktur yang unik karena ukurannya yang kecil yang dikelilingi oleh sistem sel pneumatisasi yang ekstensif. Oleh karena densitas berlainan dari komponen tulangnya dan ruang yang berisi udara dan cairan disekeliling dan didalamnya, tulang temporal memperlihatkan gambaran radiografi yang akurat. Hal ini dapat dibuat dengan pemeriksaan radiografi konvensional atau dengan teknik tomografi yang khas.6,7

1. Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan radiologi konvensional pada tulang temporal mempunyai nilai penyaring serta dapat menentukan status pneumatisasi mastoid dan pyramid tulang petrosa. Dengan pemeriksaan radiologi konvensional ini dapat dinilai besar dan perluasan suatu lesi besar yang berasal dari tulang temporal atau yang merupakan perluasan dari lesi-lesi struktur sekitar tulang temporal kearah tulang temporal.8 Hal ini bermanfaat untuk mempelajari mastoid, telinga tengah, labirin dan kanalis akustikus internus.4
Beberapa proyeksi radiologik meliputi 6,7,8:
1. Posisi Schuller
Posisi ini menggambarkan penampakan lateral mastoid. Proyeksi foto dibuat dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan sinar-X ditujukan dengan membentuk sudut 30o cephalo-caudad. Pada posisi ini perluasan pneumatisasi mastoid serta struktur trabekulasi dapat tampak dengan jelas. Posisi ini juga memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis auditorius eksterna dan hubungannya dengan sinus lateralis.

Gambar 3. a dan b adalah proyeksi Schuller
(Dikutip dari kepustakaan 7)


Gambar 4. Gambaran Mastoid pada proyeksi Schuller
( Dikutip dari kepustakaan 8)
2. Posisi Owen
Posisi ini juga menggambarkan penampakan lateral mastoid dan proyeksi dibuat dengan kepala terletak sejajar meja pemeriksaan atau film lalu wajah diputar 30o menjauhi film dan berkas sinar-X ditujukan dengan sudut 30-40o cephalo-caudal. Umumnya posisi owen dibuat untuk memperlihatkan kanalis auditorius eksternus, epitimpanikum, bagian-bagian tulang pendengaran dan sel udara mastoid.

Gambar 5. Gambaran Mastoid Posisi Owen
(Dikutip dari kepustakaan 8)

3. Posisi Chausse III
Posisi ini merupakan penampakan frontal mastoid dan ruang tengah telinga. Proyeksi dibuat dengan oksiput terletak diatas meja pemeriksaan, dagu ditekuk kearah dada lalu kepala diputar 10-15o kearah sisi berlawanan dari telinga yang diperiksa.
Posisi ini merupakan posisi tambahan setelah pemeriksaan posisi lateral mastoid. Posisi Chausse III ini merupakan posisi radiologik konvensional yang paling baik untuk pemeriksaan telinga tengah terutama untuk pemeriksaan otitis media kronik atau kolesteatoma.

Gambar 6. Gambaran Mastoid posisi Chausee III
(Dikutip dari kepustakaan 8)

4. Posisi Law
Posisi law hampir serupa dengan posisi lateral, sangat bernilai dalam evaluasi mastoiditis akut. Posisi ini kini sering diminta sebelum dilakukan pembedahan mastoid untuk melakukan letak patokan-patokan utama seperti tegmen mastoid dan sinus sigmoideus, dan juga menentukan ukuran mastoid secara keseluruhan.

Gambar 7. Proyeksi Law
(Dikutip dari kepustakaan 5)






5. Posisi Stenvers
Kepala terletak sejajar meja pemeriksaan atau film lalu wajah diputar 45o menjauhi film dan berkas sinar-X Posisi Stenvers memperlihatkan sumbu panjang pyramid petrosus dengan kanalis akustikus internus, labirin dan antrum.

Gambar 8. Proyeksi Stenvers
(Dikutip dari kepustakaan 7)

Beberapa kelainan telinga dan gambaran radilogi:
a. Otitis media akut dan mastoiditis akut
Mastoiditis akut terjadi karena komplikasi atau ekstensi dari otitis media akut. Otitis media akut ini terjadi karena infeksi yang dimulai dari traktus respiratorius bagian atas dan nasofaring, kemudian proses ini naik keatas melalui tuba eustachius ke telinga tengah. Jika proses ini berlanjut tanpa terapi yang adekuat akan terjadi supurasi dan destruksi pada sel udara mastoid dan pyramid tulang petrosus sehingga terjadinya abses. Mastoiditis dapat menyebabkan terjadinya erosi pada dinding posterior mastoid diatas sinus sigmoid sehingga terjadi abses ekstradural, tromboflebitis septic pada sinus sigmoid atau dapat menyebabkan abses periosteal pada prosesus mastoid.8
Pembuatan foto radiologik untuk mastoiditis akut biasanya dipakai posisi schuller dan Owen. Dengan posisi ini dapat dilihat dengan jelas perselubungan sel udara mastoid, destruksi trabekulae atau erosi sinus plate. Gambaran radiologis mastoiditis akut tergantung pada lamanya proses inflamasi dan proses pneumatisasi tulang temporal. Biasanya mastoiditis akut tidak terjadi pada mastoid yang acellulaer.8

Gambar 9. Mastoiditis akut dengan posisi Schuller tampak perselubungan agak difus serta destruksi trabekulasi bagian superior.
(Dikutip dari kepustakaan 8)

Gambaran dini mastoiditis akut adalah berupa perselubungan ruang telinga tengah dan sel udara mastoid, dan bila proses infamasi terus berlangsung akan terjadi perselubungan yang difus pada kedua daerah tersebut. Pada masa permulaan infeksi biasanya struktur trabekulae dan sel udara mastoid masih utuh, tetapi kadang-kadang dengan adanya edem mukosa dan penumpukan cairan seropurulen, maka terjadi kekaburan penampakan trabekulasi sel udara mastoid. Bersamaan dengan progesivitas infeksi, maka akan terjadi demineralisasi diikuti destruksi trabekulae dimana pada proses mastoid yang hebat akan terjadi penyebaran kearah posterior menyebabkan tromboflebitis pada sinus lateralis.8
Jika terjadi komplikasi intracranial pada daerah fossa kranii posterior atau media, maka pemeriksaan computerized tomography (CT Scan) merupakan pemeriksaan terpilih untuk mendeteksi hal tersebut dimana pada pemeriksaaan CT Scan dapat ditemui defek tulang dengan lesi intracranial.8
Kadang sulit membedakan mastoiditis akut dengan otitis media serosa, dimana pada otitis media serosa cairan serous dapat mengisi telinga tengah dan memasuki sistem udara mastoid. Untuk membedakan kedua hal ini dapat dibantu dengan riwayat klinis. 8


b. Otitis Media Kronik dan Mastoiditis Kronik
Otitis media kronik dan mastoiditis kronik disebabkan oleh infeksi kronis atau infeksi akut dengan resolusi yang tidak sempurna. Gambaran radiologik pada mastoiditis kronik terdiri atas perselubungan yang tidak homogen pada daerah antrum mastoid dan sel udara mastoid, serta perubahan yang bervariasi pada struktur trabekulasi mastoid. Proses inflamasi pada mastoid akan menyebabkan penebalan struktur trabekulasi diikuti dengan demineralisasi trabekulae, pada saat ini yang tampak pada foto adalah perselubungan sel udara mastoid dan jumlah sel udara yang berkurang serta struktur trabekulae yang tersisa tampak menebal. Jika proses inflamasi ini terus berlangsung, maka akan terlihat obliterasi sel udara mastoid dan biasanya mastoid akan terlihat sklerotik. Kadang-kadang lumen antrum mastoidikum dan sisa sisa sel udara mastoid akan terisi jaringan granulasi sehingga pada foto akan terlihat pula sebagai perselubungan.










Gambar 10. Mastoiditis kronik, dengan Schuller tampak perselubungan tidak homogen serta adanya penebalan trabekulae
(Dikutip dari kepustakaan 7)





c. Kolesteatoma
Kolesteatoma adalah sebuah kista epidermoid dimana secara histologis mempunyai lapisan dalam yang terdiri atas epitel skuamosa dan lapisan luar terdiri atas jaringan penunjang subepitelial. Lumen kista berisi debris epitel yang mengalami deskuamasi. Kolesteatoma dapat terjadi secara congenital dan didapat. Pada jenis yang didapat biasanya berasal dari telinga tengah yang meluas ke mastoid dan kadang-kadang masuk ke pyramid tulang petrosa.8,9
Pada kolestestoma yang menyebar kearah mastoid akan menyebabkan destruksi struktur trabekulae mastoid dan pembentukan kavitas besar yang berselubung dengan dinding yang licin. Kadang-kadang kolesteatoma dapat meluas ke sel udara mastoid tanpa merusak trabekulasi tulang dan jenis ini sering dijumpai pada anak-anak, dimana gambaran radiologiknya berupa perselubungan pada sel udara mastoid tanpa merusak trabekulasi tulang dan jenis ini sering dijumpai pada anak-anak dimana gambaran radiologiknya berupa perselubungan pada sel udara mastoid dan sulit dibedakan dengan mastoiditis biasa. Untuk melihat lesi-lesi kolesteatoma yang kecil atau ingin melihat lesi lebih jelas perlu dibuat tomografi tulang temporal.8,9

d. Tumor Glomus Jugulare
Glomus jugulre adalah suatu struktur kelenjar kecil ( ½ x ½ x ¼ mm), yang menyerupai badan karotis. Struktur ini terdiri dari kumpulan sel-sel non kromafin yang berkelompok diantara saluran pembuluh darah yang tipis. Fungi struktur ini tidak diketahui, kemungkiinan besar merupakan kemoreseptor yang sesnsitif terhadap kadar CO2 atau PH darah. Pemeriksaan radiologik pada kasus dini kurang bermanfaat, teteapi untuk tumor lanjut akan terlihat pembesaran foramen jugulare dan erosi tulang. Pada kasus lanjut angigrafi arteri karotis eksterna berguna untuk menentukan batas perluasan tumor.6,10

Gambar 11. Tumor Glomus Jugulare
(dikutip dari kepustakaan 10)

2. Computed Tomography
Pemeriksaan tomografi komputerisasi diperlukan untuk dapat melakukan penilaian struktur kecil dari tulang temporal yang memerlukan ketajaman yang tinggi dan irisan yang tipis, serta dapat menentukan detil-detil tulang yang jelas seperti osikel, fenestra ovale dan kanalis fasialis. Adapun proyeksi CT tulang temporal adalah dengan potongan aksial, potongan koronal dan potongan sagital.5,6,10

Gambar 12. Potongan Aksial CT Scan Temporal
( dikutip dari kepustakaan 11)




a. Patologi intatemporal
Dengan CT temporal dapat mendeteksi perubahan jaringan lunak dan membedakan cairan yang mengisi ruangan dengan massa padat. Dengan penggunaan kontras gambaran enhancement (penyangatan) dapat memperlihatkan lesi vaskuler, seperti tumor glomus dan struktur vaskuler ektopik, seperti bulbus jugulare dan arteri karotis interna. Penggunaan CT temporal yang lebih penting adalah untuk mengevaluasi massa jaringan lunak yang kelihatan di bawah tegmen atau lempeng sinus. Analisis densitometrik langsung suatu massa dapat membedakan cairan yang mengisi mengingokel atau suatu ensefalokel dengan kolesteatoma atau tumor padat lain. CT temporal juga diperlukan untuk mengevaluasi telinga pasca pembedahan seperti mastoidektomi dan timpanoplasti.6
a. b.
Gambar 13. a. Kolesteatoma besar telah mengerosi dinding tulang kanalis semisirkularis lateralis. Panah menunjukkan fistel labirin.Tegmen mastoid sudah tipis b. Kolesteatom eksterna besar memenuhi liang telinga masuk ke rongga mastoid (Dikutip dari kepustakaan 12)

b. Patologi intra dan ekstratemporal
Kelainan yang termasuk pada kelompok ini adalah lesi yang timbul pada tulang temporal dan menjalar ke intracranial atau ekstrakranial dan lesi yang dari struktur diluar tulang temporal tetapi masuk ke dalam tulang temporal dengan penjalaran langsung. Beberapa lesi yang dapat dinilai meliputi6,11,12:
- Tumor glomus jugulare, dapat terletak intratemporal, penyebaran intrakranial dan ekstrakranial ke leher sepanjang ruang perijugular. Radiologi adalah modalitas investigasi utama untuk glomus tumor kepala dan leher. Kombinasi contrast-enhanced CT, MRI, dan angiografi sangat ideal untuk diagnosa yang tepat dan lokalisasi dari tumor. Angiografi tetap sangat penting jika diagnosis tidak jelas atau jika dibutuhkan embolisasi.13
a. b.
Gambar 13. a. CT Scan Tumor glomus jugulare dengan destrusi tulang basis cranii, b. Angiogram. (Dikutip dari kepustakaan 13)

- Karsinoma dan sarcoma, penggunaan CT Scan selain untuk menentukan lokasi tumor, serta menentukan penyebaran ekstratemporal tumor dan bidang reseksi pembedahan.
- Infeksi akut dengan osteomielitis, seperti otitis eksterna maligna, CT temporal merupakan prosedur pilihan untuk mendiagnosis penyebaran proses ekstratemporal didalam sendi temporomandibular, dasar tengkorak, jaringan lunak leher, vertebra servikal dan untuk memantau evaluasi proses. CT temporal juga harus dilakukan apabila diduga adanya kemungkinan abses otogenik.
- Fraktur tulang temporal. Fraktur tulang temporal dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu fraktur longitudinal dan fraktur transversal serta fraktur campuran. Fraktur longitudinal berawal dari foramen magnum dan berjalan keluar menuju linag telinga, telinga berdarah dan terjadi gangguan pendengaran konduktif. Fraktur tranversal sering menyebabkan cedera labirin dan nervus fasialis karena garis fraktur melintasi apeks petrosus atau labirin. Oleh karena fraktur tulang temporal, terutama tipe transversal, selalu terjadi akibat trauma kepala yang berat, maka CT harus selalu dilakukan pada trauma kepala berat untuk menilai adanya fraktur, tempat dan bentuk fraktur serta melihat adanya perdarahan intracranial dan komplikasi lainnya.14

a. b. c.
Gambar 14. a. CT Scan potongan Axial dengan fraktur temporal longitudinal, b. CT Scan potongan Axial dengan fraktur temporal transversal, c. CT Scan potongan Axial dengan fraktur temporal campuran longitudinal dan oblique.
(Dikutip dari kepustakaan 14)

- Tumor epidermoid. Lesi ini timbul dari sisa epidermis yang terletak di rongga epidural berdampingan dengan tulang temporal, terutama diatas os petrosus superior, fosa jugular dan sisterna serebelopontin. Gambaran patognomonik tumor epidermoid adalah setelah pemberian kontras akan didapatkan daerah berdensitas rendah dan dikelilingi oleh kapsul yang tipis.
- Meningioma. Pemeriksaan CT sebelum pemberian kontras terlihat gambaran hiperostotik tulang temporal, dan setelah pemberian kontras akan terlihat masa intrakranial yang jelas.
- Tumor ekstrakranial yang meluas ke tulang temporal, yang paling banyak ialah tumor yang berasal dari kelenjar parotis dan nasofaring.
c. Patologi angulus serebelopontin
CT Scan dengan kontras atau kombinasi dengan pneumosisternografi merupakan prosedur pilihan untuk mendiagnosis neuroma akustik.6

Gambar 15. Neuroma akustik (Dikutip dari kepustakaan 15)
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan teknik imaging yang tidak menggunakan radiasi, dengan keunggulan MRI dapat menilai jaringan lunak lebih jelas. Sudut pengambilan MRI sama dengan CT Scan, aksial dan koronal. Peran MRI untuk menunjukkan patologi di telinga tengah sangat terbatas, namun untuk menunjukkan kolesteatom lebih baik dari pada CT Scan, serta lebih memberikan keterangan tentang terkenanya n.fasialis. Kekurangan MRI adalah kurang memberikan informasi tentang keadaan tulang. Pada OMSK, MRI kadang-kadang dibutuhkan untuk membedakan kolesteatom dengan granuloma kolesterol, dimana pada MRI kolesteatom hipointens atau isointens pada gambar T1 dan hiperintens pada gambar T2, sedangkan pada granuloma kolesterol hiperintens pada T1 dan T2.12
a b c
Gambar 16. MRI, potongan aksial tulang temporal dengan kolesteatoma besar, T1 a dan T2 b, c. granuloma kolesterol yang hiperintens
(Dikutip dari kepustakaan 12)



























DAFTAR PUSTAKA
1. Austin D. Telinga dalam Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ballenger JJ (ed). Jakarta: Binarupa Aksara,1994; 101-19.
2. Soetirto I, Hendramin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok dan Kepala Leher Edisi Ke Enam. Soepardi EA, Iskandar N(Ed). Jakarta: FKUI. 2006; 9-12.
3. Encarta. Anatomy of The Ear. http://www.encarta.msn.com/anatomy-of-the ear.html. [diakses tanggal 24 September 2009].
4. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.1997;99-105.
5. Kumar De S. Fundamentals of Ear, Nose and Throat Diseases and Head-Neck Surgery. Calcuta: The New Book Stall. 1996;537-9.
6. Valvassori, GE. Radiologi Tulang Temporal dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ballenger JJ (ed). Jakarta: Binarupa Aksara,1994;73-97.
7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear Nose, and Throat Disease. New York: Thieme Medical Publishers. 1994; 38-40.
8. Makes D. Pemeriksaan Radiologi Mastoid dalam: Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Ekayuda I (ed). Jakarta: FKUI. 2006; 447-52.
9. Dobyarta L. Cronik Purulent Otitis. http://www.fulspesialist.hu/image [diakses tanggal 23 September 2009].
10. Kim SK, Capp MP. Jugular Foramen and Early Roentgen Diagnosis of Glomus Jugulare Tumor. Department of Radiology Duke University Medical Center, Durham California. 1966; vol.7, No.3; 597-600.
11. Abbot DJ. CT Scan Temporal Bone. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 18 September 2009].
12. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis, Pengetahuan Dasar, Terapi Medik, Mastoidektomi, Timpanoplasti. Jakarta: FKUI. 2004;29-40.
13. Koenigsberg RA. Glomus Tumor Head and Neck. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 1 Oktober 2009].
14. Woodcock RJ. Temporal Fracture. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 1 Oktober 2009].
15. Kutz JW. Skull Base, Acoustic Neuroma. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 1 Oktober 2009].

0 komentar:

Posting Komentar