EJAKULASI DINI

|

Ejakulasi Dini (Premature Ejaculation)
Original Article Last Updated: Dec 14, 2005 available from www.emedicine.com
Author: Mark Jeffrey Noble, MD, Consulting Staff, Urologic Institute, Cleveland Clinic Foundation
Penerjemah : Husnul Mubarak,S.Ked
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ejakulasi dini merupakan disfungsi seksual yang paling sering terjadi pada pria dengan usia dibawah 40 tahun. Kebanyakan dokter yang menangani ejakulasi dini mendefinisikan keadaan ini sebagai ejakulasi sebelum tercapainya kepuasan sexual yang diharapkan dari kedua pasangan. Definisi yang luas ini kemudian tidak dapat menentukan berapa lama durasi yang tepat untuk mencapai klimax, yang beragam dan bergantung dengan faktor spesifik terhadap pasangan yang memiliki hubungan yang intim. Ejakulasi dini sekali-sekali mungkin bukan merupakan suatu permasalahan, namun jika masalah ini terjadi lebih 50% dari hubungan sex yang dilakukan, suatu pola disfungsi telah terjadi dimana membutuhkan penanganan yang tepat.
Untuk mengklarifikasi, pria dapat mencapai klimaks setelah 8 menit berhubungan seks, namun tidak dikatakan sebagai ejakulasi dini jika partner sexnya sering mencapai klimax dalam 5 menit dan keduanya puas dengan durasi sex. Beberapa pria dapat menunda ejakulasinya hingga 20 menit, namun ia masih menganggapnya sebagai ejakulasi dini jika partnernya, bahkan setelah melakukan foreplay, membutuhkan waktu 35 menit hingga mencapai klimaks. Jika hubungan seks merupakan metode stimulasi sex untuk contoh yang kedua dan pria mencapai klimax setelah 20 menit, kemudian kehilangan ereksinya, tidak mungkin pria ini dapat memuaskan pasangannya (dengan penetrasi), yang membutuhkan waktu 35 menit untuk mencapai klimaks.
Karena banyak wanita tidak mampu mencapai klimaksnya dengan hubungan sex (berapa lamapun durasinya), keadaan ini yang disebut sebagai orgasme tertunda pada pasangan perempuannya bukan ejakulasi dini untuk pria; masalah ini dapat terjadi salah satunya atau keduanya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Ini menekankan pentingnya untuk memperoleh riwayat seks yang lengkap dari pasien (dan lebih baik lagi dari pasangan tersebut).
Respon seksual pada manusia dapat dibagi atas 3 fase : hasrat (libido), terangsang (arousal), dan orgasme. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-IV) mengklasifikasi gangguan seks dalam 4 kategori, yaitu : (1) primer, (2) akibat kondisi medis umum, (3) akibat zat tertentu, (4) yang tidak tergolongkan. Masing-masing 4 kategori ini memiliki gangguan pada semua 3 fase seksual tersebut.
Ejakulasi dini dapat berupa gangguan primer atau sekunder. Primer terjadi jika seseorang mengalami gangguan ini sejak fungsi seksual mereka mulai aktif (pubertas). ED sekunder mengindikasikan kondisi ini terjadi pada seseorang yang sebelumnya dapat mengendalikan ejakulasinya dan karena alas an yang tidak diketahui, ia mengalami ejakulasi dini dimasa depan. Pada ED sekunder, masalahnya tidak berkaitan dengan gangguan kesehatan secara umum, dan biasanya tidak berkaitan dengan suatu zat pemicu, walaupun, hyperexcitabilitas mungkin berkaitan dengan pemakaian obat psikoterapi dan gejala menghilang dengan dihentikannya obat. Ejakulasi dini cocok dengan kategori yang tidak tergolongkan karena belum ada seorang pun yang mengetahui dengan pasti penyebabnya, walaupun diduga faktor psikologis pada kebanyakan kasus.
Patofisiologi
Ejakulasi dini diyakini merupakan suatu permasalah psikologis dan tidak mewakili adanya penyakit organik yang melibatkan sistem reproduksi pria dan lesi pada otak atau sistem saraf. Sistem organ yang secara langsung dipengaruhi oleh ejakulasi dini adalah saluran reproduksi pria (penis, prostate, vesika seminalis, testis, dan bagian lainnya), bagian sistem saraf pusat dan perifer yang mengendalikan sistem reproduksi pria dan sistem organ reproduksi pasangan pasien (untuk tujuan artikel ini, pasangan adalah seorang wanita) yang kemungkinan tidak dirangsang dengan cukup untuk mencapai orgasme..

Jika ejakulasi dini terjadi sebegitu dini hingga terjadi bahkan sebelum penetrasi dilakukan dan pasangan ini sedang menginginkan kehamilan, sehingga kehamilan tidak dapat terjadi kecuali inseminasi buatan dilakukan. Kemungkinan sistem organ yang paling terpengaruhi adalah perasaan dari pasangan. Kedua anggota pasangan sepertinya secara emosional dan fisik tidak puas akibat masalah ini.
Ejakulasi dini secara historis dianggap sebagai gangguan psikologis. Suatu teori mengatakan pria dianggap mengalami tekanan social untuk mencapai klimaks dalam waktu yang pendek karena rasa takut ketahuan sedang melakukan masturbasi pada waktu remaja atau selama masa pengalaman seks dini “di jok belakang mobil” atau dengan pekerja seks. Pola dari pelepasan nafsu seks ini sulit dirubah hingga masa pernikahan. Fakta bahwa perempuan terangsang dan orgasme membutuhkan waktu yang lebih lama daripada pria semakin diketahui dan menyebabkan ejakulasi dini dianggap dan diyakini sebagai suatu masalah.
Banyak yang mempertanyakan apakah ejakulasi dini murni psikologis. Beberapa penelitian telah menemukan perbedaan antara konduksi saraf/waktu laten dan perbedaan hormonal antara pria yang mengalami ejakulasi dini dibandingkan dengan yang tidak mengalaminya. Teorinya yaitu bahwa beberapa pria mengalami hyperexcitabilitas atau sensitivitas berlebihan pada genital mereka, sehingga tidak terjadi efek down-regulation (regulasi penurunan) aktivitas simpatis dan penundaan orgasme.
Terdapat pula pemikiran bahwa seseorang yang dapat ejakulasi dengan cepat lebih sukses dalam hubungan seks daripada pria yang membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai ejakulasi. Pemikiran seperti demikian terjadi pada zaman purba; paling tidak, jika benar terjadi, evolusi manusia terjadi sejak 5000 tahun yang lalu. Seorang pria yang terlalu lama ejakulasi akan diusir atau dibunuh oleh pria lain yang berkompetisi dalam suatu hubungan seks dengan perempuan pada zaman tersebut. Terpikirkan bahwa “gen purba” ini diturunkan melalui evolusi manusia.
Frekuensi
Amerika Serikat
Jumlah prevalensi ejakulasi dini pada pria Amerika diperkirakan 30-70%. The National Health and Social Life Survey (NHSLS) mengindikasikan prevalensi 30%, dimana berlaku untuk semua kategori umur dewasa (Berbeda dengan disfungsi ereksi yang prevalensinya meningkat seiring dengan meningkatnya umur). Namun, beberapa survey menunjukkan bahwa banyak pria tidak melaporkan ejakulasi dini kepada dokter mereka. Kemungkinan ini terjadi akibat perasaan malu atau perasaan bahwa tidak ada obat/terapi yang tersedia untuk masalah ini. Beberapa pria bahkan tidak menganggap ejakulasi dini sebagai suatu permasalahan medis. Data survey tersebut menunjukkan bahwa persentasi pria yang pernah mengalami ejakulasi dini pada beberapa masa dikehidupannya hampir dipastikan melebihi 30% pria yang dilaporkan oleh NHSLS.
Internasional
Estimasi untuk Negara-negara eropa dan India memiliki prevalensi yang sama dengan Amreika Serikat. Prevalensi pada bagian Asia, Afrika, Australia, dan lanilla tidak diketahui.
Mortalitas/Morbiditas
Tidak diketahui adanya akibat morbiditas atau mortalitas aibat adanya ejakulasi dini. Secara tidak langsung, ejakulasi dini dapat mempengaruhi kepercayaan diri, menyebabkan gangguan pada pernikahan, dan merupakan suatu faktor depresi dengan konsekuensinya yang jelas..
Ras
Walaupun tidak ada data yang dipublikasikan terhadap perbedaan antara kelompok ras berkaitan dengan insiden atau prevalensi ejakulasi dini, segelintir survey akhir-akhir ini menunjukkan bahwa terdapat keragaman efek rasial berkaitan dengan masalah ini. Pada suatu survey melalui telepon (Carson and associates) menemukan pada wawancara 1320 pria tanpa disfungsi ereksi dimana 21%nya adalah non-Hispanik African Americans melaporkan adanya ejakulasi dini, sedangkan 29% pada ras Hispanik dan 16% pada non-Hispanik kulit putih. Suatu analisa Laumann et al pada NHSLS menemukan bahwa ejakulasi dini lebih sering terjadi pada pria Africa Amerika (34%) dan kulit putih (29%) dibandingkan dengan pria Hispanic (27%). Namun, membuat kesimpulan yang tegas dari data ini sulit dilakukan karena sedikitnya penelitian seperti itu dan kurangnya control yang sesuai.
Umur
Ejakulasi dini dapat terjadi pada semua umur pada kehidupan pria dewasa. Seperti pada keadaan yang dilaporkan, kecenderungannya terjadi pada pria yang lebih muda (umur 18-30 tahun) namun dapat terjadi bersamaan dengan impotensi sekunder pada pria berumur 45-65 tahun.
KLINIS
Riwayat
Menemukan riwayat ejakulasi dini pada pasien sangat berguna karena memandu terapi yang cocok untuk pasien (dan partnernya). Perlu difokuskan apakah ejakulasi dini terjadi primer atau sekunder dan menilai tingkt keparahan dari masalah ini.
Riwayat medis umum mengenai keadaan medis yang kemungkinan mempengaruhi perlu ditemukan. Sebagai contoh, jika pasien memiliki angina dan ini menyebabkan ketakuran akan infark miokard selama berhubungan badan, ia mungkin datang dengan ejakulasi dini disertai dengan adanya penyakit jantung dan perasaan insekuritas (tidak aman) akibat penyakit jantungnya. Menyembuhnya penyakit jantung biasanya mengembalikan kemampuan ejakulasi, tanpa terapi spesifik untuk ejakulasi dini. Untuk tujuan diskusi ini, pasien diasumsikan sehat secara fisik, dan disfungsi seksual sebagai satu-satunya masalah bermakna.
Jika pasien selalu mengalami ejakulasi dini pada saat pertama kali ia melakukan hubungan seks, maka ia dianggap mengalami ejakulasi dini primer. Jika ia pernah sukses dalam hubungan seks sebelumnya, maka ia mengalami ejakulasi dini sekunder. Pada kebanyakan kasus, ejakulasi sekunder lebih mudah diatasi dan memiliki prognosis yang lebih baik.
1. Ejakulasi dini primer
a. Menambahkan riwayat medis umum, tanyakan mengenai adanya permasalah psikologis sebelumnya karena pria dengan ejakulasi dini memiliki insiden gangguan psikiatrik yang lebih tinggi yang didapatkan dari populasi umum.
b. Riwayat sebaiknya mencakup pertanyaan tentang pengalaman seksual yang dini. Apakah ia pernah mengalami trauma psikis seksual pada masa kecil atau remaja? Contohnya kemungkinan yaitu ketahuan masturbasi oleh orang tua, dengan perasaan bersalah yang mengikutinya. Atau pasien pernah dihukum karena ketahuan bermasturbasi.
c. Tanyakan mengenai hubungan keluarga pasien pada saat ia tumbuh. Bagaimana ia berhubungan dengan ayahnya, ibunya, atau saudaranya? Apakah keluarganya memiliki riwayat inses atau pelecehan seksual? Pria biasanya dilecehkan oleh pria lain dan jarang terjadi oleh perempuan.
d. Bagaimana hubungan dengan teman-temannya ? Apakah pasien memiliki teman pria atau wanita? Bagaimana ia menghargai dirinya sendiri terhadap lingkungannya (inferior, superior, atletik, lebih atau kurang pintar)?
e. Apakah pasien memiliki masalah dengan pekerjaan ?
f. Bagaimana sikap umum pasien terhadap sex (misalnya apakah ia menganggap sex sebagai tabu dan jorok), dan bagaimana pola preferensi, fantasi, dan rangsangan sex pasien?
g. Apakah pasien memiliki keterikatan yang kuat dengan suatu ajaran agama? Jika iya, cari tau bagaimana agama tersebut memandang sex.
h. Jika ejakulasi dini bermula setelah awal hubungan di luar nikah, apakah pasien merasa bersalah tentang hal ini?
i. Jika ejakulasi dini pada pengalaman pertama hubungan sex dalam suatu perkawinan terjadi, carilah informasi mengenai bagaimana kehidupan sex noncoitus pasangan ini.
j. Tanyakan mengenai perilaku sex dan respon dari pasangan wanita; jika ia memiliki masalah seperti dyspareunia, apakah berhubungan dengan masalah pada pria ?
k. Bagaimana hubungan nonsexual pada pasangan ? Apakah terjadi pertengkaran atau mereka sedang dalam masa sulit?
l. Keterangan dari ini dan pertanyaan yang serupa biasanya secara langsung menuju ke faktor yang dapat diterapi secara spesifik.
2. Ejakulasi Dini Sekunder
a. Sebagai tambahan dari riwayat medis umum, sebaiknya ditelusuri hubungan sebelumnya dimana ejakulasi dini belum menjadi masalah bagi pasien dan hubungan sebelumnya dimana tejadi ejakulasi dini transient.
b. Pada hubungan sekarang, apakah ejakulasi dini selalu menjadi masalah atau apakah hal ini bermulai setelah jangka waktu hubungan sex sebelumnya dapat memuaskan kedua pasangan ?
c. Telusuri secara spesifik kualitas hubungan yang terkait dengan faktor diluar hubungan sex ? Apakah pasangan bekerja sama dengan baik pada suatu masalah, atau apakah terdapat konflik? Siapa yang dominant dalam hubungan ini atau apakah secara umum setara (tidak ada yang dominant) ?
d. Jika pasangan wanita tidak bersama dengan pasien ? Jika tidak, tanyakan mengapa. Kemungkinan, wanita menganggap masalah ini hanya masalah pasangan prianya dan tidak menganggap sebagai masalah hubungan mereka, dimana dapat menjadi petunjuk yang penting.
e. Apakah ia memiliki masalah impotensi ? Apakah Disfungsi Ereksi (DE) juga ada? Jika DE tidak ada, seberapa lama waktu untuk pria mulai dari penetrasi hingga klimax?
f. Dapatkah penetrasi terjadi, atau apakah ejakulasi dini terjadi sebelumnya sehingga penetrasi tidak terjadi?
g. Apakah pasien mengalami ejakulasi dini dengan masturbasi, atau rangsangan dari pasangan, atau terjadi setelah penetrasi?
h. Berapa lama waktu yang dibutuhkan pasangan wanita untuk mencapai klimaks ? Dapatkah ia mencapai klimax dengan penetrasi, atau apakah ia membutuhkan stimulasi klitoral langsung sebelumnya untuk mencapai klimax?
i. Jika DE ditemukan namun terjadi setelah ejakulasi dini, maka terapi untuk kedua keadaan mungkin dibutuhkan; biasanya DE sembuh ketika pasien mendapatkan kepercayaan diri dalam mengendalikan ejakulasinya. Jika DE terjadi sebelumnya, maka ejakulasi dini kemungkinan merupakan disfungsi seksual sekunder, dimana akan sembuh jika pasien percaya diri bahwa ia mampu menjaga ereksinya.
j. Penjelasan mengenai hal-hal ini dan faktor lain yang berkaitan biasanya terbukti sangat membantu untuk membuat perencanaan terapi.
Pemeriksaan Fisis
Temuan pemeriksaan fisis biasanya normal pada pria dengan ejakulasi dini sebagai satu-satunya gangguan.
Penyebab
Penyebab ejakulasi dini dianggap sebagai faktor psikologis, walaupun tidak seorang pun tahu penyebab sesungguhnya.
1. Ejakulasi Dini Primer
a. Pada ejakulasi dini primer, dimana pria tidak pernah mengalami hubungan seksual sebelumnya juga tidak pernah mengalami ejakulasi dini, gangguan emosional yang sangat kuat kemungkinan terjadi dan penyebabnya dapat beragam.
b. Terkadang, perilaku ini merupakan respon terkondisi akibat masturbasi pada masa remaja, namun, seringkali pasien mengalami kecemasan yang mendalam mengenai sex atau pengalaman traumatic yang dialami pada masa perkembangan. Contoh dapat berupa inses, pelecehan sexual, konflik dengan orang tua, atau gangguan serius lainnya.
c. Pada kebanyakan kasus, seorang dokter atau urologist perlu berkonsultasi dengan psikiater, psikolog, atau profesi lain yang terkait dengan penyakit ini.
2. Ejakulasi dini sekunder
a. Beberapa tipe kecemasan merupakan faktor utama terjadinya ejakulasi dini sekunder.
b. Tekanan performa (misal, ketakutan akan kegagalan memuaskan pasangan ) dapat timbul dengan beragam kejadian pemicu. DE merupakan keadaan paling sering memicu. Jika pasien takut ereksinya tidak bertahan, karena adanya DE atau membayangkan kegagalan tersebut, hal demikian dapat memicu ejakulasi dini.
c. Namun penelusuran riwayat secara seksama diperlukan karena situasinya kemungkinan kompleks
d. Karena kebanyakan dokter bukan merupakan seorang sex therapist yang terlatih, menemukan konflik pada pasangan kemudian merujuk pasangan ini kepada seorang dokter yang professional dengan pengalaman pada bidang ini. Jika dokter memiliki sedikit pengalaman atau pernah menjalani pelatihan dibidang ini atau merasa percaya diri untuk menangani hal ini, maka dokter dapat memulai penatalaksanaan.
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
Pertimbangkan mengenai anorgasmia atau Orgasme sangat tertunda pada pasangan wanita, dimana kata tertunda merupakan relative karena rata-rata waktu bagi wanita untuk mencapai klimaks beragam namun dari penelitian rata-rata dalam 12-25 menit. Jika seorang wanita membutuhkan waktu 3 jam untuk mencapai klimaks, maka ini sangat diluar normal. Pada kasus orgasme tertunda atau kesulitan orgasme pada wanita, hampir semua pria dianggap memiliki ejakulasi dini.
Pertimbangkan mengenai efek samping dari obat psikoterapi. Jika masalah ejakulasi dini bermula dengan pemberian awal suatu obat dan ejakulasi dini berhenti setelah obat dihentikan, dokter perlu mencurigai bahwa kedua hal ini saling berkaitan.
Beberapa pria mungkin dibingungkan dengan cairan yang keluar pada saat perangsangan, yaitu cairan pelumas yang disekresi oleh kelenjar Cowper dan kelenjar lainnya selama fase perangsangan. Riwayat sexual secara teliti dapat mengklarifikasi masalah ini dan dapat memberikan keyakinan terhadap pasien mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
Disfungsi ereksi dapat menjadi gejala klinis dari beberapa pria yang mengalami ejakulasi dini. Membedakan kedua permasalahan ini penting dilakukan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pada pria dengan ejakulasi dini dan tanpa permasalahan medis umum lainnya, tidak ada pemeriksaan lab konvensional yang dapat membantu atau mempengaruji pemilihan jenis terapi.
2. Pemeriksan kadar testosterone dan prolactin serum cocok dilakukan jika ejakulasi dini disertai dengan permasalahan impotensi.
PENATALAKSANAAN
Terdapat beberapa pilihan terapi medis untuk ejakulasi dini. Kondisi medis umum yang berat (seperti angina) sebaiknya diatasi terlebih dahulu; untuk tujuan diskusi ini, pria dianggap tidak memiliki penyakit medis umum dan ejakulasi dini merupakan satu-satunya permasalahnnya. Sebagai tambahan, permasalahan ereksi lainnya yang menyertai dapat ditangani dengan beragam metode dengan keberhasilan yang sempurna
1. Melibatkan pasangan wanita sebisa mungkin dalam terapi dan sesi konseling penting untuk mencapai hasil yang diinginkan.
2. Langkah pertama penanganan ejakulasi dini adalah untuk melenyapkan adanya tekanan batin (berupa pikiran takut tidak dapat memuaskan pasangan) pada pria.
o Jika ejakulasi dini terjadi pada saat penetrasi telah berlangsung, minta kepada pasangan tidak melakukan penetrasi hingga ejakulasi dini telah dapat ditangani. Pria dapat melakukan stimulasi lain tanpa melakukan penetrasi.
o Jika pria selalu mengalami ejakulasi pada rangsangan awal atau pada permulaan foreplay, ini merupakan masalah serius dan kemungkinan mengindikasikan adanya ejakulasi dini primer, dimana kebanyakan membutuhkan penanganan spesialis jiwa.
3. Pasangan diminta untuk melakukan terapi seksual, seperti teknik stop-mulai atau tekan-henti yang dipopulerkan oleh Masters dan Johnson. Kebanyakan pasangan merasa teknik ini berhasil. Ini juga dapat membantu pasangan wanita lebih terangsang dan dapat memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk mencapai klimaks.
o Modalitas terapi lainnya yaitu dengan krim desensitasi digunakan oleh pria. Seperti namanya krim ini dapat mengurangi stimulasi pada penis sehingga dapat memperpanjang waktu untuk ejakulasi. Namun krim ini belum diakui oleh FDA.
4. Jika pria relative muda dan dapat mencapai ereksi kembali setelah beberapa menit terjadinya ejakulasi dini, biasanya ia memiliki pengendalian waktu yang lebih baik pada hubungan sex berikutnya.
o Beberapa ahli menyarankan pria muda untuk melakukan masturbasi 1-2 jam sebelum hubungan seksual direncanakan.
o Interval waktu untuk mencapai klimaks kedua biasanya memiliki masa laten lebih panjang dan pria kebanyakan dapat mengendalikan lebih baik ejakulasinya pada keadaan seperti ini.
o Pada orang yang lebih tua, strategi ini mungkin kurang efektif karena mereka sulit untuk mendapatkan ereksi kedua setelah ejakulasi dini. Jika ini terjadi maka hal tersebut dapat merusak rasa percaya diri dan mengakibatkan impotensi sekunder.
5. Modalitas farmakologik yang dapat membantu pria dengan ejakulasi dini adalah obat dari golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) class, obat yang biasanya digunakan di klinik sebagai antidepressant.
o Beberapa antidepressant tricyclic yang mempunyai aktivitas seperti SSRI dapat mencapai hasil yang sama.
o Kebanyakan obat ini memiliki efek samping yang menyebabkan kedua pasangan wanita dan pria mengalami penundaan bermakna dalam mencapai orgasme.
o Untuk alasan ini, pengobatan dengan efek samping SSRI ini telah digunakan untuk pria yang mengalami ejakulasi dini.

FARMAKOTERAPI
Tidak ada obat yang diakui oleh FDA sebagai terapi ejakulasi dini. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa, selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) dan obat dengan efek samping serupa dengan SSRI, aman dan efektif digunakan untuk tujuan ini. SSRIs merupakan obat yang paling berhasil menunda respon yang terlalu cepat pada pria dengan ejakulasi dini. Krim desensitasi yang mengandung agen anastesi lokal dapat berguna pada beberapa pria, namun diyakini tidak memiliki efektifitas yang baik.
Ejakulasi dini yang berkaitan dengan disfunsi ereksi (DE) dapat sembuh setelah DE dapat berhasil ditangani. Obat untuk penanganan DE termasuk sildenafil (Viagra), vardenafil (Levitra), tadalafil (Cialis), alprostadil (Caverject, Muse), dan, kemungkinan juga SSRI (jika DE disebabkan oleh depresi).
Selective serotonin reuptake inhibitors
Mekanisme kerjanya dihubungkan dengan hambatan terhadap uptake neuronal dari serotonin pada sistem saraf pusat. Beberapa penelitian pada hewan menunjukkan bahwa SSRI memiliki efek pada reuptake neuronal dopamine dan norepinephrine.
SSRIs telah diteliti memiliki efek samping sexual, yang paling sering adalah penundaan klimaks pada pria dan wanita. Sertraline (Zoloft), paroxetine (Paxil), dan fluoxetine (Prozac) merupakan contoh SSRI yang berhasil menangani ejakulasi dini.
Terapi optimal untuk ejakulasi dini belum diketahui, namun dari pengalaman peneliti, dosis tunggal sebelum hubungan intim dilakukan dapat bekerja dengan baik pada beberapa pria. Jika dosis tunggal berhasil maka terapi jelas lebih mudah dilakukan dan memiliki efek samping lebih kecil. Pada dosis multiple, dosis ditingkatkan secara bertahap hingga efek terapeutik atau dosis maksmial harian telah tercapai.
KOMPLIKASI
1. Ejakulasi dini yang berat dapat menyebabkan stress dalam perkawinan, dimana dapat berperan dalam suatu pertengkaran rumah tangga bahkan dapat berujung perceraian pada beberapa kasus..
2. Konsepsi juga sulit terjadi pada kasus ejakulasi dini sebelum penetrasi terjadi.
PENCEGAHAN.
Penelitian di masa depan mungkin menilai apakah insiden ejakulasi dini pada pria muda dapat menurun dengan edukasi seks yang lebih baik selama masa remaja. Terapi dini disfungsi ereksi kemungkinan dapat mencegah ejakulasi dini sekunder pada pria lebih tua.
PROGNOSIS
1. Master dan Johnson mengklaim bahwa kebanyakan pria (>85%) dengan ejakulasi dini dapat diatasi dengan teknik tekan-henti. Pada kebanyakan kasus, mereka mengklaim bahwa teknik ini sukses dalam waktu 3 bulan setelah dimulainya teknik ini.
2. Walaupun Masters dan Johnson melaporkan hasil yang baik, namun beberapa peneliti menemukan hasil yang lebih buruk dengan teknik tekan-henti ini.
3. Dengan kombinasi beberapa metode, termasuk pengobatan SSRI, memperoleh tingkat perbaikan atau penyembuhan paling baik pada kebanyakan kasus, ketika pasangan berkomitmen untuk bekerjasama menangani masalah ini.
4. Beberapa penelitian yang telah dipublikasikan juga mengindikaskan bahwa konseling dan terapi medikamentosa dapat mencapai keberhasilan hingga 85%.
5. Masalah dari terapi yaitu bahwa angka relaps mencapai 20-50%. Beberapa pria memerlukan komitmen jangka panjang dalam menjalani teknik terapi behavioral (kebiasan jangka panjang mungkin sulit dimodifikasi). Pasien yang berhasil dengan terapi medikamentosa (misal SSRIs) mungkin membutuhkan pengobatan seumur hidupnya, sama seperti pasien depresi yang memerlukan obat ini seumur hidupnya untuk menghindari depresi rekuren. Angka kegagalan jangka panjang yang tepat belum didapatkan dan tergantung durasi dari tindak lanjut untuk pasien tertentu.

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DIABETES MELITUS

|

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

DIABETES MELITUS

(disarikan dari Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia : Perkeni 2006)


I. Pendahuluan



Yang dimaksud dengan Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa didalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial ekonomi. Di Indonesia saat ini penyakit DM belum menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas dampak negatifnya , yaitu berupa penurunan kualitas SDM , terutama akibat penyulit menahun yang ditimbulkannya.

Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi DM sebesar 1,5 – 2,3 % pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, bahkan pada suatu penelitian epidemiologis di Manado didapatkan prevalensi DM 6,1 %. Penelitian yang dilakukan di Jakarta, Surabaya, Makasar dan kota-kota lain di Indonesia membuktikan adanya kenaikan prevalensi dari tahun ketahun. Berdasarkan pola pertambahan penduduk , diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4 % akan didapatkan 7 juta pasien DM , suatu jumlah yang sangat besar untuk dapat ditangani oleh dokter spesialis / subspesialis / endokrinologis.

Dalam strategi pelayanan kesehatan bagi penderita DM, yang seyogyanya diintegrasikan kedalam pelayanan kesehatan primer, peran dokter umum adalah sangat penting. Kasus DM yang tanpa disertai dengan penyulit dapat dikelola dengan tuntas oleh dokter umum. Apalagi kalau kemudian kadar glukosa darah ternyata dapat terkendali baik dengan pengelolaan ditingkat pelayanan kesehatan primer. Tentu saja harus ditekankan pentingnya tindak lanjut jangka panjang pada para pasien tersebut. Pasien yang potensial akan menderita penyulit DM perlu secara periodik dikonsultasikan kepada dokter ahli terkait ataupun kepada tim pengelola DM pada tingkat lebih tinggi di rumah sakit rujukan. Kemudian mereka dapat dikirim kembali kepada dokter yang biasa mengelolanya. Demikian pula pasien DM yang sukar terkendali kadar glukosa darahnya, pasien DM dengan penyulit, apalagi penyulit yang potensial fatal, perlu dan harus ditangani oleh instansi yang lebih mampu dengan peralatan yang lebih lengkap, dalam hal ini Pusat DM di Fakultas Kedokteran / Rumah Sakit Pendidikan / RS Rujukan Utama. Untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang tepat guna dan berhasil guna bagi pasien DM dan untuk menekan angka penyulit, diperlukan suatu standar pelayanan minimal bagi penderita DM. Diabetes Melitus adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, sehingga yang berperan dalam pengelolaannya tidak hanya dokter, perawat dan ahli gizi, tetapi lebih penting lagi keikutsertaan pasien sendiri dan keluarganya. Penyuluhan kepada pasien dan keluarganya akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan mereka dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan DM.



II. Diagnosis

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya . Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala , hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.



A. Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya (mass-screening = pemeriksaan penyaring) tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check up) , adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu :

- kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )

- kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)}

- tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)

- riwayat keluarga DM

- riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram

- riwayat DM pada kehamilan

- dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl

- pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)



Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)



























*metode enzimatik



B. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus



Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ³ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ³ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal , belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan menddapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ³ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ³ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.



Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1985)

- 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa

- kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan

- puasa semalam, selama 10-12 jam

- kadar glukosa darah puasa diperiksa

- diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgBB, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum selama/dalam

waktu 5 menit

- diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama pemeriksaan subyek yang

diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.



Kriteria diagnostik Diabetes Melitus*





1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ³ 200 mg/dl , atau

2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ³ 126 mg/dl

(Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir ) atau

Kadar glukosa plasma ³ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO**



* Kriteria diagnostik tsb harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis atau berat badan yang menurun cepat.



**Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik.





III. Klasifikasi



Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh PERKENI ( Perkumpulan Endokrinologi Indonesia )adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) 1997, sbg berikut :



1. Diabetes Melitus tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) :

§ Autoimun

§ Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)

2. Diabetes Melitus tipe 2 (bervariasi mulai dari yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin)



3. Diabetes Melitus tipe lain :

A. Defek genetik fungsi sel beta :

* Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 1,2,3.

* DNA mitokondria

B. Defek genetik kerja insulin

C. Penyakit endokrin pankreas :

* pankreatitis

* tumor pankreas /pankreatektomi

* pankreatopati fibrokalkulus

D. Endokrinopati :

* akromegali

* sindrom Cushing

* feokromositoma

* hipertiroidisme

E. Karena obat/zat kimia :

* vacor, pentamidin, asam nikotinat

* glukokortikoid, hormon tiroid

* tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain

F. Infeksi :

* Rubella kongenital, Cytomegalovirus (CMV)

G. Sebab imunologi yang jarang :

* antibodi anti insulin

H. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM :

* sindrom Down, sindrom Kleinfelter, sindrom Turner, dan lain-lain.



4. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)



IV. Pengelolaan



Tujuan :



1. Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat.

2. Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas DM.

3. Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.

Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada langkah pengelolaan.

4. Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan perilaku.



Pilar utama pengelolaan DM :


1. Edukasi

2. Perencanaan makan

3. Latihan jasmani

4. Obat-obatan

Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu.



Edukasi



Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan:



makan makanan sehat;



kegiatan jasmani secara teratur;



menggunakan obat diabetes secara aman, teratur, dan pada waktu-waktu yang spesifik;



melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai informasi yang ada;



melakukan perawatan kaki secara berkala;



mengelola diabetes dengan tepat;



mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan;



dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.



Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi.





Perencanaan makan

Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen, sehingga tidak ada satu cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini secara umum. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu. Pada saat ini yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula, tepung dan serat, sedang istilah gula sederhana/simpel, karbohidrat kompleks dan karbohidrat kerja cepat tidak digunakan lagi. Penelitian pada orang sehat maupun mereka dengan risiko diabetes mendukung akan perlunya dimasukannya makanan yang mengandung karbohidrat terutama yang berasal dari padi-padian, buah-buahan, dan susu rendah lemak dalam menu makanan orang dengan diabetes. Banyak faktor yang berpengaruh pada respons glikemik makanan, termasuk didalamnya adalah macam gula: (glukosa, fruktosa, sukrosa, laktosa), bentuk tepung (amilose, amilopektin dan tepung resisten), cara memasak, proses penyiapan makanan, dan bentuk makanan serta komponen makanan lainnya (lemak, protein). Pada diabetes tipe 1 dan tipe 2, pemberian makanan yang berasal dari berbagai bentuk tepung atau sukrosa, baik langsung maupun 6 minggu kemudian ternyata tidak mengalami perbedaan repons glikemik, bila jumlah karbohidratnya sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah total kalori dari makanan lebih penting daripada sumber atau macam makanannya.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:

Karbohidrat 60-70%
Protein 10-15%
Lemak 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.



Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa Tubuh (IMT).

IMT = BB(kg)/TB(m2)





Tabel 2. Klasifikasi IMT (Asia Pasific)







Klasifikasi IMT (Asia Pasific)


Lingkar Perut



<90cm (Pria)

<80cm (Wanita)




>90cm (Pria)

>80cm (Wanita)






Risk of co-morbidities



BB Kurang <18,5

BB Normal 18,5-22,9

BB Lebih >23,0 :

- Dengan risiko : 23,0-24,9

- Obes I : 25,0-29,9

- Obes II : ≥ 30






Rendah

Rata-rata



Meningkat

Sedang

Berat




Rata-rata

Meningkat



Sedang

Berat

Sangat berat







Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) - 10%



Status gizi:

BB kurang bila BB < 90% BBI

BB normal bila BB 90-110% BBI

BB lebih bila BB 110-120% BBI

Gemuk bila BB >120% BBI

wajah kekasih

|

 Ku menyaksikan dedaun kekeringan
Gugur ke bumi gersang tiada penghuni
Tiada mentari, awan kesuraman
Bagaikan waktu yang terhenti

Ku menyaksikan seraut wajah cinta
Yang kehampaan tiada lagi bermaya
Kini kehilangan sebuah harapan
Bagaikan cinta yang terkubur

Adakah mungkin untukku menghindari
Gurisan kasih luka di hati
Jiwaku resah apakah kesudahan
Kecewa ataupun bahagia ooo...

Ku yakinkan diri demi rinduku
Penawar hanya dari wajah kekasih
Walaupun rintangan
enawar hanya dari wajah kekasih
Walaupun rintangan datang menduga
Ku tempuhinya kerna cinta membara
Ooo... mimpi yang indah
Jelmalah dalam nyata
Wajah-wajah kekasih

Ku mengharapkan ikatan kemesraan
Antara kita akan terlaksana jua
Walaupun impian dalam kekaburan
Ku yakin padamu oh Tuhan
 Ku menyaksikan dedaun kekeringan
Gugur ke bumi gersang tiada penghuni
Tiada mentari, awan kesuraman
Bagaikan waktu yang terhenti

Ku menyaksikan seraut wajah cinta
Yang kehampaan tiada lagi bermaya
Kini kehilangan sebuah harapan
Bagaikan cinta yang terkubur

Adakah mungkin untukku menghindari
Gurisan kasih luka di hati
Jiwaku resah apakah kesudahan
Kecewa ataupun bahagia ooo...

Ku yakinkan diri demi rinduku
Penawar hanya dari wajah kekasih
Walaupun rintangan
enawar hanya dari wajah kekasih
Walaupun rintangan datang menduga
Ku tempuhinya kerna cinta membara
Ooo... mimpi yang indah
Jelmalah dalam nyata
Wajah-wajah kekasih

Ku mengharapkan ikatan kemesraan
Antara kita akan terlaksana jua
Walaupun impian dalam kekaburan
Ku yakin padamu oh Tuhan

DISLIPIDEMIA

|


DISLIPIDEMIA
PENGERTIAN
Dislipidemia merupakan kelaianan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan ( peningkatan atau penurunan ) Fraksi lipid dalam plasma ,kelaianan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total,kenaikan kadar trigliserid serta penurunan kadar kolsterol HDL.dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting dan berkaitan ,sehingga dikenal sebagai triad lipid ,secara klinis dislipidemia diklasifikasikan menjadi 3 yaitu: hiperkolesteromia ,hipertrigliseridemia ,dan campuran hiperkolesteromia dan hipertrigliseridemia.

DIAGNOSIS
Klasifikasi kadar kolesterol : klasifikasi
Kolesterol LDL <100mg/dL optimal
100 – 129 mg/dL hampir optimal
130 – 159 mg/dL borderline tinggi
160 – 189 mg/dL tinggi
->190 mg/dL sangat tinggi
Kolesterol total <200 mg/dL idaman
200 – 239 mg/dL borderline tinggi
>240 mg/dl tinggi
Kolesterol HDL <40 mg/dL rendah
> 60 mg/dL tinggi
Untuk mengevaluasi resiko penyakit jantung koroner (PJK) ,perlu diperhatikan faktor-faktor risiko lainnya :
1, faktor resiko fositif
- merokok
- umur (pria 45 thn, wanita 55 thn )
- kolesterol HDL rendah
- hipertensi (TD 140 /90 atau dalam terapi antihipertensi )
- riwayat penyakit jantung koroner dini dalam keluarga ( fist degree :pria , 55 t
Tahun ,wanita < 65 thn,)
2, faktor resiko negatif.
- kolesterol HDL tinggi ;mengurangi 1 faktor risiko dari perhitungan total .

ATP III menggunakan Framingham Risk Score (FRS) untuk menghitung besarnya risiko penyakit jantung korpner (PJK) pada pasien dengan 2 faktor risiko ,meliputi ; umur,kadar kolesterol total ,kolesterol HDL ,kebiasaan merokok ,dan hipertensi penjumlahan skor pada FRS akan menghasilkan angka persentase risiko PJK dalam 10 tahun,

Ekivalen risiko PJK mengandung risiko kejadian koroner mayor yang sebanding dengan kejadian PJK ,yakni > 20 % dalam 10 tahun ,terdiri dari ;
• bentuk klinis lain dari aterosklerosis ;penyakit arteri perifer ,aneurisma aorta abdominalis ,penyakit arteri karotis yang simptomatis’
• diabetes
• Faktor risisko multiple yang mempunyai resiko PJK dalam 10 tahun > 20%

Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor resiko indefenden untuk terjadinya PJK,faktor yang mempengaruhi tingginya trigliserida;
• Obesitas ,berat badan lebih
• Inaktivitas fisik
• Merokok
• Asupan alcohol berlebihan
• Diet tinggi karbohidrat ( >60 % asupan energi)
• Penyakit DM tipe 2 , gagal ginjal kronik ,sindrom nefrotik
• Obat,kortikosteroid,estrogen ,retinoid ,penghambatan adrenergic-beta dosis tinggi
• Kelainan genetic( riwayat keluarga )

Kalsifikasi derajat hipertrigliseridemia
Normal ; ,150 mg/dL
Borderline –tinggi : 150 – 199 mg/dL
Tinggi : 200 – 499 mg/dL
Sangat tinggi : 500 mg/dL
DIAGNOSIS BANDING
• Hiperkolesterolemia sekunder,karena hipotirodisme,penyakit hati obstruksi,sindrom nefrotik,anoreksia nervosa,porfiria intermiten akut ,obat (progestin,siklosporin,thiazide)
• Hipertrgliseridemia sekunder,karena obesitas ,DM,penyakit ginjal kronik,lipodistrofi,glycogen strorage disease,alcohol,bedah bypass ileal,stress,sepsis,kehamilan ,obat ( estrogen, isotretinoin, penghambat beta ,glukokortikoid,resin pengikat bile-acid,thiazide),hepatitis akut,lupuseritematosus sistemik,gammopali monoclonal ;myeloma multiple ,limpoma AIDS ;inhibitor protease.
• HDL rendah sekunder,karena malnutrisi,obesitas,merokok ,penghambatan beta steroid anbolik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Skirining dianjurkan pada semuah pasien berusia 20 tahun ,setiap 5 tahun sekali ;kadar kolesterol total,LDL,HDL,trigliserida ,glukosa darah ,tes fungsi hati ,urin lengkap,tes fungsi ginjal ,TSH < EKG.

TERAPI

Untuk hiperkolesteromia;
Penatalaksanaan non-farmakologis (perubahan gaya hidup
• Diet, dengan komposis :
o Lemak jenuh <7 % kalori total
o PUFA hingga 10 % kalori total
o MUFA hingga 10 % kalori total
o Lemak toal 25 – 35 % kalori total
o Karbohidrat 50 – 60 % kalori total
o Protein hingga 15 % kalori total
o Serat 20 – 30 g / hari
o Kolesterol <200 mg / hari

• Latihan jasmani
• Penurunan berat badan bagi yang gemuk
• Menhintikan kebiasaan merokok ,minuman alcohol

Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu ,bila target sudah tercapai ( lihat tabel target di bawah ini),pemantauan setiap 4 – 6 bulan

• Bila setelah 6 minggu PGH, target belum tercapai;intensifkan penurunan lemak jenuh dan kolesterol ,tambahkan stanol/steroid nabati,tingkatkan konsumsi serat,dan kerjasam dengan dietisian.
• Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menirunkan kadar kolesterol LDL,maka terpi farmakologis mulai diberikan ,dengan tetap meneruskan pengaturan makan dan latihan jasmani.

TERAPI FARMAKOLOGIS

• Golongan statin ;
o Simvastatin 5—40 mg
o Lovastatin 10—80 mg
o Pravastatin 10—40 mg
o Fluvastatin 20—80 mg
o Atorvastatin 10—80 mg
• Golongan bile acid sequestrant :
o Kolestiramin 4—16 g
• Golongan nicotinic acid;
o Nicotinic acid ( immediate release ) 2 * 100 mg s,d 1,5 – 3 g

Target kolesterol LDL ( mg/dL) :
kategori target kadar LDL kadar LDL untuk
Risiko LDL untuk mulai PGH milai terapi farmakologis
PJK atau <100 >100 130
Ekivalen PJK ( 100- 129) ;opsional )
( FRS > 20 % )
Faktor risiko > 2 <130 < 130 > 130 (FRS 10-20 %
( FRS < 20 % ) ( 160 – 189 ; opsional )
Faktor risiko 1 –1 <160 > 160 > 190
( 160 – 189 ; opsional )
Terapi hiperkolestrolemia untuk pencegahan primer ,dimulai dengan statin atau bile acid sequestrant atau nicotinic acid,
Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu ,bila target sudah tercapai ( lihat tabel diatas ) ,pemantauan setiap 4—6 bulan ,bila setelah 6 minggu terapi ,target belum tercapai ;intensifkan /naikan dosis statin atau kombinasi dengan yang lain,bila setelah 6 minggu berikutnya terpi non farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL ,maka terapi famakologis diintensifkan
Pasien dengan PJK ,kejadian koroner mayor atau dirawat untuk prosedur koroner,diberi terapi obat saat pulang dari RS jika kolesterol LDL > 100 mg / dL

Pasien dengan hipertrigliseridemia :
• Penatalaksanaan non- farmakologis sesuai diatas
• Penatalaksanaan farmakologis
o Target terapi :
Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi ;tujuan utama terapi adalah mencapai target kolesterol LDL

- Pasien dengan trigliserida tinggi ; target sekunder adalah kadar kolesterol non HDL ,yakni sebesar 30 mg /dL lebih tinggi dari target kadar kolesterol LDL
- Pendekatan terapi obat ;
• Obat penurun kadar kolesterol LDL ,atau
• Ditambahkan dengan obat fibrat atau nicotinic acid.golongan fibrat terdiri dari
o Gemfibrozil 2 x600 mg 1 x 900 mg,
o Fenofibrat 1 x 200 mg

Penyebab primer dari dislipidemia sekunder ,juga harus ditatalaksana

KOMPLIKASI
Aterosklerosis,penyakit jantung koroner ,strok ,pankreatitis akut

PROGNOSIS
Dubia ad bonam

Presentasi

|

1. ERUPSI GIGI
1.1 Anatomi Gigi
Anatomi gigi adalah ilmu yang mempelajari tentang susunan/struktur dan bentuk gigi, hubungan antara gigi yang satu dengan gigi yang lain dan hubungan antara gigi dengan jaringan sekitarnya. Secara anatomi gigi terdiri dari bagian mahkota yang terlihat didalam mulut dan akar yang terbenam di dalam tulang rahang dan gusi.1


Gambar 1. Anatomi gigi2






Bagian-bagian gigi yaitu:1
a. Mahkota gigi atau corona (Crown), merupakan bagian yang tampak di atas gusi. Terdiri atas:
• Lapisan email
Merupakan jaringan keras yang mengalami kalsifikasi yang menutupi dentin dari mahkota gigi. Berasal dari jaringan ektodermal. Berfungsi sebagai menahan daya kunyah/abrasi. Terdiri dari zat anorganik lebih kurang 99% sebagai prismata dan zat organik lebih kurang 1% sebagai substantia pelekat
• Tulang gigi (dentin).
Jaringan dentin berasal dari mesenkim. Merupakan jaringan ikat yang mengalami kalsifikasi dan jaringan yang terbesar dari gigi. Terdiri dari zat anorganik lebih kurang 70% dan zat organik lebih kurang 30% pada kanalikuli dentin yang didalamnya terdapat Tomes Fiber
• Rongga gigi (pulpa), bagian antara corona dan radiks.
Jaringan yang berasal dari mesenkim. Pada ronga pulpa bisa ditemukan saraf, pembuluh darah, pembuluh limfe dan jaringan ikat (jarang). Fungsi sebagai formatif (membentuk), nutrisi, sensoris dan defensif
b. Leher gigi atau kolum, bagian yang terdapat antara mahkota dan akar gigi.
c. Akar gigi atau radiks (roots), bagian yang tertanam pada tulang rahang. Akar gigi melekat pada tulang rahang dengan perantaraan semen gigi. Semen gigi melapisi akar gigi dan membantu menahan gigi agar tetap melekat pada gusi. Terdiri atas lapisan semen, pelindung akar gigi dalam gusi. Gusi, merupakan pelindung dari jaringan-jaringan di bawahnya .1

Jaringan periodontal//jaringan peyanggah gigi meliputi : 3
a. Gingiva/gusi, yaitu jaringan lunak yang meliputi prosesus alveolaris dan mengelilingi gigi.
b. Sementum, yaitu bagian yang menghubungkan gigi dengan tulang rahang melalui serabut periodontal.
c. Selaput/serabut periodontal/periodontal fiber/serabut sharpey, berfungsi melekatkan gigi/sementum ke tulang dan sebagai penahan tekanan yang diterima dan meneruskannya ke tulang.
d. Tulang rahang/prosesus alveolaris, yaitu bagian dari rahang tempat akar-akar gigi, berfungsi mengikat gigi dalam suatu posisi relasi terhadap lengkung gigi.

1.2 Nomenklatur Gigi
Penamaan gigi salah satunya adalah cara Federation Dental International (FDI). Cara ini menggunakan sistem 2 angka, dimana angka pertama menunjukkan kuadran, sedangkan angka kedua menunjukkan lokasi gigi.3
Gigi tetap: 18 17 16 15 14 13 12 11 21 22 23 24 25 26 27 28
48 47 46 45 44 43 42 41 31 32 33 34 35 36 37 38
Gigi susu: 55 54 53 52 51 61 62 63 64 65
85 84 83 82 81 71 72 73 74 75

1.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi
Benih gigi mulai dibentuk sejak janin berusia 7 minggu dan berasal dari lapisan ektodermal serta mesodermal. Lapisan ektodermal berfungsi membentuk enamel dan odontoblas, sedangkan mesodermal membentuk dentin, pulpa, semen, membran periodontal dan tulang alveolar. Pertumbuhan dan perkembangan gigi dibagi dalam tiga tahap yaitu perkembangan, kalsifikasi, dan erupsi.4
1.3.1 Tahap Perkembangan Gigi
Tahap perkembangan gigi adalah sebagai berikut: 4
1. Inisiasi (bud stage)
Merupakan permulaan terbentuknya benih gigi dari epitel mulut. Sel-sel tertentu pada lapisan basal dari epitel mulut berproliferasi lebih cepat daripada sel sekitarnya menghasilkan lapisan epitel yang menebal di regio bukal lengkung gigi dan meluas sampai seluruh bagian rahang atas dan bawah.

2. Proliferasi (cap stage)
Pada tahap ini lapisan sel-sel mesenkim yang berada pada lapisan dalam mengalami proliferasi, memadat, dan bervaskularisasi membentuk papil gigi yang kemudian membentuk dentin dan pulpa. Sel-sel mesenkim yang berada di sekeliling organ gigi dan papila gigi memadat dan fibrous, disebut kantong gigi yang akan menjadi sementum, membran periodontal dan tulang alveolar.

3. Histodiferensiasi (bell stage)
Pada tahap ini terjadi diferensiasi seluler. Sel-sel epitel enamel dalam menjadi semakin panjang dan silindris disebut ameloblas yang akan berdiferensiasi menjadi enamel, dan sel-sel bagian tepi dari papila gigi menjadi odontoblas yang akan berdiferensiasi menjadi dentin.

4. Morfodiferensiasi
Sel pembentuk gigi dipersiapkan untuk menghasilkan bentuk dan ukuran gigi selanjutnya. Proses ini terjadi sebelum deposisi matriks dimulai. Morfologi gigi dapat ditentukan bila epitel enamel bagian dalam tersusun sedemikian rupa sehingga batas antara epitel enamel dan odontoblas merupakan gambaran dentinoenamel junction yang akan terbentuk. Dentinoenamel junction mempunyai sifat khusus yaitu bertindak sebagai pola pembentuk setiap macam gigi. Terdapat deposit enamel dan matriks dentin pada daerah tempat sel-sel ameloblas dan odontoblas yang akan menyempurnakan gigi sesuai dengan bentuk dan ukurannya.
5. Aposisi
Terjadi pembentukan matriks keras gigi baik pada enamel, dentin, dan sementum. Matriks enamel terbentuk dari sel-sel ameloblas yang bergerak ke arah tepi dan telah terjadi proses kalsifikasi sekitar 25%-30%.

1.3.2 Tahap Kalsifikasi Gigi
Tahap kalsifikasi adalah suatu tahap pengendapan matriks dan garam-garam kalsium. Kalsifikasi akan dimulai di dalam matriks yang sebelumnya telah mengalami deposisi dengan jalan presipitasi dari satu bagian ke bagian lainnya dengan penambahan lapis demi lapis. 4
Gangguan pada tahap ini dapat menyebabkan kelainan pada kekerasan gigi seperti hipokalsifikasi. Tahap ini tidak sama pada setiap individu, dipengaruhi oleh faktor genetik atau keturunan. Kalsifikasi gigi permanen dimulai saat lahir, yaitu saat molar pertama tetap mulai terkalsifikasi. 4

1.3.3 Tahap Erupsi Gigi
Ada dua fase yang penting dalam proses erupsi gigi yaitu erupsi aktif dan pasif. Erupsi aktif adalah pergerakan gigi yang didominasi oleh gerakan ke arah vertikal, sejak mahkota gigi tumbuh dari tempat pembentukannya di dalam rahang sampai mencapai oklusi fungsional dalam rongga mulut. Sedangkan erupsi pasif adalah pertumbuhan gusi ke arah apeks yang menyebabkan mahkota klinis bertambah panjang dan akar klinis bertambah pendek sebagai akibat adanya perubahan pada perlekatan epitel di daerah apikal. 4
Gigi permanen yang pertama erupsi adalah gigi molar pertama rahang bawah, yaitu saat anak berumur 6 tahun, tetapi kadang-kadang gigi insivus pertama rahang bawah erupsi bersamaan atau bahkan mendahului gigi molar pertama tersebut. Setelah itu gigi insisivus pertama rahang atas dan gigi insisivus kedua rahang bawah erupsi pada umur 7-8 tahun diikuti gigi insisivus kedua rahang atas pada umur 8-9 tahun. Gigi kaninus rahang bawah erupsi pada umur 9-10 tahun dan gigi premolar pertama rahang atas pada umur 10-11 tahun, dan seterusnya seperti yang digambarkan pada Gambar 2. 4


Gambar 2. Waktu Erupsi Gigi Desidui dan Gigi Permanen 5

Presentasi

|

|

MANFAAT PEMERIKSAAN RADIOLOGI
PADA KELAINAN TELINGA
oleh Kamisah
Bagian Ilmu Penyakit THT FK UNRI RSUD Arifin Achmad Pekanbaru

1.1 PENDAHULUAN
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan keseimbangan). Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.1
Indra pengindraan dan keseimbangan serta penghantar suara terletak dalam tulang temporal, yang ikut membentuk kubah tengkorak dan tulang pipi. Tulang temporal terdiri dari bagian skuamosa, bagian timpani, bagian mastoid, dan pars petrosa. Bagian skuamosa os temporal sebagian besar tipis dan cembung kearah luar sebagai tempat perlengketan muskulus temporalis. Bagian timpani berbentuk suatu silinder yang tidak sempurna, bersama-sama dengan bagian skuama membentuk liang telinga luar bagian tulang. Bagian terbesar os temporal dibentuk oleh bagian mastoid. Bagian mastoid mengalami pneumatisasi yang luas. Pars petrosa yang disebut sebagai pyramid petrosa yang berisi labirin telinga. Bagian superior tulang ini membentuk permukaan inferior fossa kranii media.1,2

Gambar 1. Anatomi Tulang temporal (dikutip dari kepustakaan 1)
Secara anatomi dan fungsional, telinga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.1,2

1. Anatomi Telinga Luar
Telinga luar ialah bagian telinga yang terdapat sebelah luar membrane timpani. Bagian ini terdiri dari daun telinga dan liang telinga. Da un telinga merupakan suatu lempeng tulang rawan yang ditutupi oleh kulit dan dipertahankan pada tempatnya oleh otot dan ligamentum. Sepertiga liang telinga luar dibentuk oleh perluasan tulang rawan daun telinga dan dua per tiga bagian dalam dibentuk oleh pars timpani dan pars skuamosa os temporal.1,2

Gambar 2. Anatomi Telinga (dikutip dari kepustakaan 3)

2. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, prosesus mastoideus dan tuba eustachius.
a. Membran Timpani
Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani dan memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Letak membrana timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar ke depan dalam dan membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal. Membrana timpani merupakan kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut menonjol kearah kavum timpani, puncak ini dinamakan umbo. Dari umbo ke depan bawah tampak refleks cahaya ( cone of light).1
Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan diameter transversal 2-6 mm.
b. Tuba Eustachius
Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani. bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring.1,2
Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga yaitu mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drenase sekret dari kavum timpani ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke kavum timpani.1,2
c. Prosesus Mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum.1
1. Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal. Organ untuk pendengaran (koklea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga kranial VII (nervus fasialis) dan VIII (nervus koklea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari komplek anatomi. Koklea dan kanalis semisirkularis bersama menyusun struktur labirin. Ketiga kanalis semisirkularis posterior, superior dan lateral terletak membentuk sudut 90 derajat satu sama lain yang berisi organ keseimbangan. Organ ahkir reseptor ini distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah gerakan seseorang.1,2




1.2 PEMERIKSAAN RADIOLOGI TELINGA
Pemeriksaan radiologi merupakan alat penunjang diagnostik yang penting dalam diagnosis penyakit telinga. Setelah memperoleh riwayat lengkap dan pemeriksaan telinga tengah dan mastoid yang cermat dengan otoskop, maka dapat diputuskan perlu tidaknya pemeriksaan radiologis.4 Pemeriksaan radiologi pada telinga berfungsi untuk menentukan5:
a. Struktur anatomi tulang mastoid, meliputi sel udara mastoid, diploe dan sklerotik mastoid.
b. Mendeteksi adanya perubahan patologis seperti perselubungan pada sel mastoid, erosi pada tulang dan pembentukan kavitas.
c. Keadaan telinga dalam, kanalis auditorius interna, kanalis semisirkularis dan nervus fasialis.
d. Keadaan tulang-tulang pendengaran pada telinga tengah.

Pemeriksaan radiologi yang penting adalah pemeriksaan tulang temporal. Oleh karena, tulang temporal mempunyai struktur anatomi yang overlapped dengan beberapa struktur tulang tengkorak lainnya. Tulang temporal merupakan struktur yang unik karena ukurannya yang kecil yang dikelilingi oleh sistem sel pneumatisasi yang ekstensif. Oleh karena densitas berlainan dari komponen tulangnya dan ruang yang berisi udara dan cairan disekeliling dan didalamnya, tulang temporal memperlihatkan gambaran radiografi yang akurat. Hal ini dapat dibuat dengan pemeriksaan radiografi konvensional atau dengan teknik tomografi yang khas.6,7

1. Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan radiologi konvensional pada tulang temporal mempunyai nilai penyaring serta dapat menentukan status pneumatisasi mastoid dan pyramid tulang petrosa. Dengan pemeriksaan radiologi konvensional ini dapat dinilai besar dan perluasan suatu lesi besar yang berasal dari tulang temporal atau yang merupakan perluasan dari lesi-lesi struktur sekitar tulang temporal kearah tulang temporal.8 Hal ini bermanfaat untuk mempelajari mastoid, telinga tengah, labirin dan kanalis akustikus internus.4
Beberapa proyeksi radiologik meliputi 6,7,8:
1. Posisi Schuller
Posisi ini menggambarkan penampakan lateral mastoid. Proyeksi foto dibuat dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan sinar-X ditujukan dengan membentuk sudut 30o cephalo-caudad. Pada posisi ini perluasan pneumatisasi mastoid serta struktur trabekulasi dapat tampak dengan jelas. Posisi ini juga memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis auditorius eksterna dan hubungannya dengan sinus lateralis.

Gambar 3. a dan b adalah proyeksi Schuller
(Dikutip dari kepustakaan 7)


Gambar 4. Gambaran Mastoid pada proyeksi Schuller
( Dikutip dari kepustakaan 8)
2. Posisi Owen
Posisi ini juga menggambarkan penampakan lateral mastoid dan proyeksi dibuat dengan kepala terletak sejajar meja pemeriksaan atau film lalu wajah diputar 30o menjauhi film dan berkas sinar-X ditujukan dengan sudut 30-40o cephalo-caudal. Umumnya posisi owen dibuat untuk memperlihatkan kanalis auditorius eksternus, epitimpanikum, bagian-bagian tulang pendengaran dan sel udara mastoid.

Gambar 5. Gambaran Mastoid Posisi Owen
(Dikutip dari kepustakaan 8)

3. Posisi Chausse III
Posisi ini merupakan penampakan frontal mastoid dan ruang tengah telinga. Proyeksi dibuat dengan oksiput terletak diatas meja pemeriksaan, dagu ditekuk kearah dada lalu kepala diputar 10-15o kearah sisi berlawanan dari telinga yang diperiksa.
Posisi ini merupakan posisi tambahan setelah pemeriksaan posisi lateral mastoid. Posisi Chausse III ini merupakan posisi radiologik konvensional yang paling baik untuk pemeriksaan telinga tengah terutama untuk pemeriksaan otitis media kronik atau kolesteatoma.

Gambar 6. Gambaran Mastoid posisi Chausee III
(Dikutip dari kepustakaan 8)

4. Posisi Law
Posisi law hampir serupa dengan posisi lateral, sangat bernilai dalam evaluasi mastoiditis akut. Posisi ini kini sering diminta sebelum dilakukan pembedahan mastoid untuk melakukan letak patokan-patokan utama seperti tegmen mastoid dan sinus sigmoideus, dan juga menentukan ukuran mastoid secara keseluruhan.

Gambar 7. Proyeksi Law
(Dikutip dari kepustakaan 5)






5. Posisi Stenvers
Kepala terletak sejajar meja pemeriksaan atau film lalu wajah diputar 45o menjauhi film dan berkas sinar-X Posisi Stenvers memperlihatkan sumbu panjang pyramid petrosus dengan kanalis akustikus internus, labirin dan antrum.

Gambar 8. Proyeksi Stenvers
(Dikutip dari kepustakaan 7)

Beberapa kelainan telinga dan gambaran radilogi:
a. Otitis media akut dan mastoiditis akut
Mastoiditis akut terjadi karena komplikasi atau ekstensi dari otitis media akut. Otitis media akut ini terjadi karena infeksi yang dimulai dari traktus respiratorius bagian atas dan nasofaring, kemudian proses ini naik keatas melalui tuba eustachius ke telinga tengah. Jika proses ini berlanjut tanpa terapi yang adekuat akan terjadi supurasi dan destruksi pada sel udara mastoid dan pyramid tulang petrosus sehingga terjadinya abses. Mastoiditis dapat menyebabkan terjadinya erosi pada dinding posterior mastoid diatas sinus sigmoid sehingga terjadi abses ekstradural, tromboflebitis septic pada sinus sigmoid atau dapat menyebabkan abses periosteal pada prosesus mastoid.8
Pembuatan foto radiologik untuk mastoiditis akut biasanya dipakai posisi schuller dan Owen. Dengan posisi ini dapat dilihat dengan jelas perselubungan sel udara mastoid, destruksi trabekulae atau erosi sinus plate. Gambaran radiologis mastoiditis akut tergantung pada lamanya proses inflamasi dan proses pneumatisasi tulang temporal. Biasanya mastoiditis akut tidak terjadi pada mastoid yang acellulaer.8

Gambar 9. Mastoiditis akut dengan posisi Schuller tampak perselubungan agak difus serta destruksi trabekulasi bagian superior.
(Dikutip dari kepustakaan 8)

Gambaran dini mastoiditis akut adalah berupa perselubungan ruang telinga tengah dan sel udara mastoid, dan bila proses infamasi terus berlangsung akan terjadi perselubungan yang difus pada kedua daerah tersebut. Pada masa permulaan infeksi biasanya struktur trabekulae dan sel udara mastoid masih utuh, tetapi kadang-kadang dengan adanya edem mukosa dan penumpukan cairan seropurulen, maka terjadi kekaburan penampakan trabekulasi sel udara mastoid. Bersamaan dengan progesivitas infeksi, maka akan terjadi demineralisasi diikuti destruksi trabekulae dimana pada proses mastoid yang hebat akan terjadi penyebaran kearah posterior menyebabkan tromboflebitis pada sinus lateralis.8
Jika terjadi komplikasi intracranial pada daerah fossa kranii posterior atau media, maka pemeriksaan computerized tomography (CT Scan) merupakan pemeriksaan terpilih untuk mendeteksi hal tersebut dimana pada pemeriksaaan CT Scan dapat ditemui defek tulang dengan lesi intracranial.8
Kadang sulit membedakan mastoiditis akut dengan otitis media serosa, dimana pada otitis media serosa cairan serous dapat mengisi telinga tengah dan memasuki sistem udara mastoid. Untuk membedakan kedua hal ini dapat dibantu dengan riwayat klinis. 8


b. Otitis Media Kronik dan Mastoiditis Kronik
Otitis media kronik dan mastoiditis kronik disebabkan oleh infeksi kronis atau infeksi akut dengan resolusi yang tidak sempurna. Gambaran radiologik pada mastoiditis kronik terdiri atas perselubungan yang tidak homogen pada daerah antrum mastoid dan sel udara mastoid, serta perubahan yang bervariasi pada struktur trabekulasi mastoid. Proses inflamasi pada mastoid akan menyebabkan penebalan struktur trabekulasi diikuti dengan demineralisasi trabekulae, pada saat ini yang tampak pada foto adalah perselubungan sel udara mastoid dan jumlah sel udara yang berkurang serta struktur trabekulae yang tersisa tampak menebal. Jika proses inflamasi ini terus berlangsung, maka akan terlihat obliterasi sel udara mastoid dan biasanya mastoid akan terlihat sklerotik. Kadang-kadang lumen antrum mastoidikum dan sisa sisa sel udara mastoid akan terisi jaringan granulasi sehingga pada foto akan terlihat pula sebagai perselubungan.










Gambar 10. Mastoiditis kronik, dengan Schuller tampak perselubungan tidak homogen serta adanya penebalan trabekulae
(Dikutip dari kepustakaan 7)





c. Kolesteatoma
Kolesteatoma adalah sebuah kista epidermoid dimana secara histologis mempunyai lapisan dalam yang terdiri atas epitel skuamosa dan lapisan luar terdiri atas jaringan penunjang subepitelial. Lumen kista berisi debris epitel yang mengalami deskuamasi. Kolesteatoma dapat terjadi secara congenital dan didapat. Pada jenis yang didapat biasanya berasal dari telinga tengah yang meluas ke mastoid dan kadang-kadang masuk ke pyramid tulang petrosa.8,9
Pada kolestestoma yang menyebar kearah mastoid akan menyebabkan destruksi struktur trabekulae mastoid dan pembentukan kavitas besar yang berselubung dengan dinding yang licin. Kadang-kadang kolesteatoma dapat meluas ke sel udara mastoid tanpa merusak trabekulasi tulang dan jenis ini sering dijumpai pada anak-anak, dimana gambaran radiologiknya berupa perselubungan pada sel udara mastoid tanpa merusak trabekulasi tulang dan jenis ini sering dijumpai pada anak-anak dimana gambaran radiologiknya berupa perselubungan pada sel udara mastoid dan sulit dibedakan dengan mastoiditis biasa. Untuk melihat lesi-lesi kolesteatoma yang kecil atau ingin melihat lesi lebih jelas perlu dibuat tomografi tulang temporal.8,9

d. Tumor Glomus Jugulare
Glomus jugulre adalah suatu struktur kelenjar kecil ( ½ x ½ x ¼ mm), yang menyerupai badan karotis. Struktur ini terdiri dari kumpulan sel-sel non kromafin yang berkelompok diantara saluran pembuluh darah yang tipis. Fungi struktur ini tidak diketahui, kemungkiinan besar merupakan kemoreseptor yang sesnsitif terhadap kadar CO2 atau PH darah. Pemeriksaan radiologik pada kasus dini kurang bermanfaat, teteapi untuk tumor lanjut akan terlihat pembesaran foramen jugulare dan erosi tulang. Pada kasus lanjut angigrafi arteri karotis eksterna berguna untuk menentukan batas perluasan tumor.6,10

Gambar 11. Tumor Glomus Jugulare
(dikutip dari kepustakaan 10)

2. Computed Tomography
Pemeriksaan tomografi komputerisasi diperlukan untuk dapat melakukan penilaian struktur kecil dari tulang temporal yang memerlukan ketajaman yang tinggi dan irisan yang tipis, serta dapat menentukan detil-detil tulang yang jelas seperti osikel, fenestra ovale dan kanalis fasialis. Adapun proyeksi CT tulang temporal adalah dengan potongan aksial, potongan koronal dan potongan sagital.5,6,10

Gambar 12. Potongan Aksial CT Scan Temporal
( dikutip dari kepustakaan 11)




a. Patologi intatemporal
Dengan CT temporal dapat mendeteksi perubahan jaringan lunak dan membedakan cairan yang mengisi ruangan dengan massa padat. Dengan penggunaan kontras gambaran enhancement (penyangatan) dapat memperlihatkan lesi vaskuler, seperti tumor glomus dan struktur vaskuler ektopik, seperti bulbus jugulare dan arteri karotis interna. Penggunaan CT temporal yang lebih penting adalah untuk mengevaluasi massa jaringan lunak yang kelihatan di bawah tegmen atau lempeng sinus. Analisis densitometrik langsung suatu massa dapat membedakan cairan yang mengisi mengingokel atau suatu ensefalokel dengan kolesteatoma atau tumor padat lain. CT temporal juga diperlukan untuk mengevaluasi telinga pasca pembedahan seperti mastoidektomi dan timpanoplasti.6
a. b.
Gambar 13. a. Kolesteatoma besar telah mengerosi dinding tulang kanalis semisirkularis lateralis. Panah menunjukkan fistel labirin.Tegmen mastoid sudah tipis b. Kolesteatom eksterna besar memenuhi liang telinga masuk ke rongga mastoid (Dikutip dari kepustakaan 12)

b. Patologi intra dan ekstratemporal
Kelainan yang termasuk pada kelompok ini adalah lesi yang timbul pada tulang temporal dan menjalar ke intracranial atau ekstrakranial dan lesi yang dari struktur diluar tulang temporal tetapi masuk ke dalam tulang temporal dengan penjalaran langsung. Beberapa lesi yang dapat dinilai meliputi6,11,12:
- Tumor glomus jugulare, dapat terletak intratemporal, penyebaran intrakranial dan ekstrakranial ke leher sepanjang ruang perijugular. Radiologi adalah modalitas investigasi utama untuk glomus tumor kepala dan leher. Kombinasi contrast-enhanced CT, MRI, dan angiografi sangat ideal untuk diagnosa yang tepat dan lokalisasi dari tumor. Angiografi tetap sangat penting jika diagnosis tidak jelas atau jika dibutuhkan embolisasi.13
a. b.
Gambar 13. a. CT Scan Tumor glomus jugulare dengan destrusi tulang basis cranii, b. Angiogram. (Dikutip dari kepustakaan 13)

- Karsinoma dan sarcoma, penggunaan CT Scan selain untuk menentukan lokasi tumor, serta menentukan penyebaran ekstratemporal tumor dan bidang reseksi pembedahan.
- Infeksi akut dengan osteomielitis, seperti otitis eksterna maligna, CT temporal merupakan prosedur pilihan untuk mendiagnosis penyebaran proses ekstratemporal didalam sendi temporomandibular, dasar tengkorak, jaringan lunak leher, vertebra servikal dan untuk memantau evaluasi proses. CT temporal juga harus dilakukan apabila diduga adanya kemungkinan abses otogenik.
- Fraktur tulang temporal. Fraktur tulang temporal dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu fraktur longitudinal dan fraktur transversal serta fraktur campuran. Fraktur longitudinal berawal dari foramen magnum dan berjalan keluar menuju linag telinga, telinga berdarah dan terjadi gangguan pendengaran konduktif. Fraktur tranversal sering menyebabkan cedera labirin dan nervus fasialis karena garis fraktur melintasi apeks petrosus atau labirin. Oleh karena fraktur tulang temporal, terutama tipe transversal, selalu terjadi akibat trauma kepala yang berat, maka CT harus selalu dilakukan pada trauma kepala berat untuk menilai adanya fraktur, tempat dan bentuk fraktur serta melihat adanya perdarahan intracranial dan komplikasi lainnya.14

a. b. c.
Gambar 14. a. CT Scan potongan Axial dengan fraktur temporal longitudinal, b. CT Scan potongan Axial dengan fraktur temporal transversal, c. CT Scan potongan Axial dengan fraktur temporal campuran longitudinal dan oblique.
(Dikutip dari kepustakaan 14)

- Tumor epidermoid. Lesi ini timbul dari sisa epidermis yang terletak di rongga epidural berdampingan dengan tulang temporal, terutama diatas os petrosus superior, fosa jugular dan sisterna serebelopontin. Gambaran patognomonik tumor epidermoid adalah setelah pemberian kontras akan didapatkan daerah berdensitas rendah dan dikelilingi oleh kapsul yang tipis.
- Meningioma. Pemeriksaan CT sebelum pemberian kontras terlihat gambaran hiperostotik tulang temporal, dan setelah pemberian kontras akan terlihat masa intrakranial yang jelas.
- Tumor ekstrakranial yang meluas ke tulang temporal, yang paling banyak ialah tumor yang berasal dari kelenjar parotis dan nasofaring.
c. Patologi angulus serebelopontin
CT Scan dengan kontras atau kombinasi dengan pneumosisternografi merupakan prosedur pilihan untuk mendiagnosis neuroma akustik.6

Gambar 15. Neuroma akustik (Dikutip dari kepustakaan 15)
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan teknik imaging yang tidak menggunakan radiasi, dengan keunggulan MRI dapat menilai jaringan lunak lebih jelas. Sudut pengambilan MRI sama dengan CT Scan, aksial dan koronal. Peran MRI untuk menunjukkan patologi di telinga tengah sangat terbatas, namun untuk menunjukkan kolesteatom lebih baik dari pada CT Scan, serta lebih memberikan keterangan tentang terkenanya n.fasialis. Kekurangan MRI adalah kurang memberikan informasi tentang keadaan tulang. Pada OMSK, MRI kadang-kadang dibutuhkan untuk membedakan kolesteatom dengan granuloma kolesterol, dimana pada MRI kolesteatom hipointens atau isointens pada gambar T1 dan hiperintens pada gambar T2, sedangkan pada granuloma kolesterol hiperintens pada T1 dan T2.12
a b c
Gambar 16. MRI, potongan aksial tulang temporal dengan kolesteatoma besar, T1 a dan T2 b, c. granuloma kolesterol yang hiperintens
(Dikutip dari kepustakaan 12)



























DAFTAR PUSTAKA
1. Austin D. Telinga dalam Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ballenger JJ (ed). Jakarta: Binarupa Aksara,1994; 101-19.
2. Soetirto I, Hendramin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok dan Kepala Leher Edisi Ke Enam. Soepardi EA, Iskandar N(Ed). Jakarta: FKUI. 2006; 9-12.
3. Encarta. Anatomy of The Ear. http://www.encarta.msn.com/anatomy-of-the ear.html. [diakses tanggal 24 September 2009].
4. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.1997;99-105.
5. Kumar De S. Fundamentals of Ear, Nose and Throat Diseases and Head-Neck Surgery. Calcuta: The New Book Stall. 1996;537-9.
6. Valvassori, GE. Radiologi Tulang Temporal dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ballenger JJ (ed). Jakarta: Binarupa Aksara,1994;73-97.
7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear Nose, and Throat Disease. New York: Thieme Medical Publishers. 1994; 38-40.
8. Makes D. Pemeriksaan Radiologi Mastoid dalam: Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Ekayuda I (ed). Jakarta: FKUI. 2006; 447-52.
9. Dobyarta L. Cronik Purulent Otitis. http://www.fulspesialist.hu/image [diakses tanggal 23 September 2009].
10. Kim SK, Capp MP. Jugular Foramen and Early Roentgen Diagnosis of Glomus Jugulare Tumor. Department of Radiology Duke University Medical Center, Durham California. 1966; vol.7, No.3; 597-600.
11. Abbot DJ. CT Scan Temporal Bone. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 18 September 2009].
12. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis, Pengetahuan Dasar, Terapi Medik, Mastoidektomi, Timpanoplasti. Jakarta: FKUI. 2004;29-40.
13. Koenigsberg RA. Glomus Tumor Head and Neck. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 1 Oktober 2009].
14. Woodcock RJ. Temporal Fracture. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 1 Oktober 2009].
15. Kutz JW. Skull Base, Acoustic Neuroma. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 1 Oktober 2009].