|

file:///E:/AKUIOOOOOO/TRAKTUS%20SPINOTALAMIKUS22222.ppt

Traktus Spinotalamikus

|

TRAKTUS SPINOTALAMIKUS

1.1 DEFINISI

Traktus spinotalamikus adalah suatu jalur asenden yang berasal dari medulla spinalis dan berjalan disepanjang medulla spinalis sampai bersinaps di talamus. Terdapat dua jalur yang tergabung dalam sistem ini, yakni traktus spinotalamikus lateral dan traktus spinotalamikus anterior. Traktus spinotalamikus sebagai jalur asendens yang menghantarkan impuls sensorik dari reseptor. Reseptor adalah organ sensorik khusus yang mampu mencatat perubahan fisik dan kimia didalam dan sekitar organisme, serta mengubahnya menjadi impuls yang diproses oleh sistem saraf.1

Hubungan manusia dengan dunia luar terjadi melalui reseptor sensorik yang berupa reseptor eksteroseptif, propioseptif, interoseptif. Reseptor eksteroseptif yang berespon terhadap stimulus dari rangsangan dari lingkungan eksternal, termasuk visual, auditoar dan taktil. reseptor propioseptif misalnya yang menerima informasi mengenai posisi bagian tubuh atau tubuh diruangan. reseptor interoseptif dapat mendeteksi kejadian internal seperti perubahan tekanan darah.2

Sistem sensorik menerima informasi primer dari reseptor eksteroseptif dan propioseptif. terdapat empat subkelas mayor dari sensasi somatik yaitu:3

1. Sensasi nyeri yang dicetuskan oleh rangsangan yang mencederai

2. Sensasi suhu (termal), terdiri dari rasa panas dan dingin.

3. Sensasi sikap, dicetuskan oleh perubahan sikap dari otot dan persendian, dan mencakup rasa sikap anggota gerak serta gerakan anggota gerak (kinestesia).

4. Sensasi tekan, dicetuskan oleh stimulasi mekanis yang diberikan pada permukaan tubuh.

Beberapa reseptor sensorik tubuh meliputi ujung saraf bebas yang merfungsi sebagai reseptor nyeri. ujung saraf yang mempunyai bentuk tertentu seperti sisir dinamakan alat ruffini dan merupakan reseptor panas, ujung saraf lain krause sebagai reseptor dingin. Reserptor berupa merkel dan badan Meissner sebagai reseptor raba.




Gambar 1 Anatomi Reseptor4

1.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI

A. Medulla Spinalis

Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan.5Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut : 8 pasang saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co). 5

Substansia grisea di medulla spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis terutama terdiri dari badan-badan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior), kornu ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis mengandung badan sel neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis.(4)

Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi

Gambar 3. Potongan melintang Medulla Spinalis2

B. Talamus

Jauh di dalam otak dekat dengan nukleus basal terdapat diensefalon, suatu struktur garis-tengah (midline) yang membentuk dinding-dinding rongga ventrikel ketiga, salah satu ruang tempat lewatnya cairan serebrospinalis. Diensefalon terdiri dari dua bagian utama, talamus dan hipotalamus.(4)

Talamus berfungsi sebagai stasiun penyambung dan pusat integrasi sinaps untuk pengolahan pendahuluan semua masukan sensorik dalam perjalanannya ke korteks. Bagian ini menyaring sinyal-sinyal yang tidak bermakna dan mengarahkan impuls-impuls sensorik penting ke daerah somatosensorik yang sesuai, serta ke daerah-daerah lain. 6

Gambar 4. Anatomi Talamus4

Gambar 5. Jalur Asenden Medulla Spinalis2

Gambar 5. Jaras Talamus- korteks sensoris

Impuls sensorik akan disalurkan melalui radiks posterior medulla spinalis yang dikenal sebagai ganglion spinalis, kemudian impuls tiba di nucleus propius disegmen medulla spinalis. Nukleus propius merupakan neuron yang menghubungkan medulla spinalis dengan nucleus ventro-postero-lateral dan ventro-postero-medial thalamus sisi kontralateral yang dikenal dengan traktus spinotalamikus. Di kornu posterior mereka menyilang garis tengah melalui komisura alba dan selanjutnya berkumpul di funikulus anterolateral. Pada tingkat servikal serabut yang berasal dari tungkai menduduki daerah lateral, bagian torakal menduduki daerah medial dan bagian brakioservikal menduduki bagian paling medial. Pada tingkat medulla oblongata jaras spinotalamik terletak disebelah dorsolateral oliva inferior. Di Pons ia berada diantara lemnikus medialis dan brakiu konjungtivum dan dimesensefalon diatas ujung dorsal lemniskus medialis dekat kolikulus superior.3

Lebih kerostral serabut-serabut spinotalamik tidak berkumpul lagi sebagai berkas, karena secara bertahap mengakhiri perjalanannya disepanjang nucleus ventro-postero-lateral dan ventro-postero-medial di thalamus. Untuk jaras sensorik pada wajah dibawa oleh nervus trigeminus. Setelah bersinaps di nukleus ventroposterolateral talamus selanjutnya membentuk traktus talamokortikal, traktus ini berjalan naik melalui kapsula interna yang terletak di posterior dari traktus piramidalis dan menyebar di corona radiata menuju ke korteks sensorik di girus post sentralis.3,7

1. Traktus Spinotalamikus Anterior

Jalur ini merupakan serabut saraf yang fungsinya membawa stimulus taktil dan sensasi tekanan dengan reseptor perifer berada dikulit. Neuron pertama adalah sel saraf pseudounipolar ganglion spinalis. Biasanya cukup tebal, serat perifer bermielin yang mengirim sensasi taktil dan sensasi tekanan yang tidak begitu berbeda dari reseptor kulit, seperti keranjang rambut dan korpuskel taktil. Cabang sentral dari akson ini berjalan melalui radiks posterior ke dalam funikuli posterior medulla spinalis. Di sini semua mungkin berjalan naik untuk 2 sampai 15 segmen dan dapat memberikan kolateral ke bawah untuk 1 sampai 2 segmen. Pada sejumlah tingkat, semua bersinaps dengan neuron kornu posterior. Sel-sel saraf ini menggantikan “ neuron kedua” yang membentuk traktus spinotalamikus anterior. Traktus ini menyilang komissura anterior di depan kanalis sentralis ke sisi yang berlawanan dan berlanjut ke daerah perifer anterior dari funikulus anterolateral. Dari sini traktus ini berjalan naik ke nukleus ventralis talamus posterolateral, bersama dengan traktus spinitalamikus lateral dan lemniskus medialis. Sel-sel saraf talamus adalah “ neuron ketiga “, memproyeksikan impuls ke dalam girus postsentralis melalui traktus talamokortikalis.(1)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhm0XelU1hYKiRWPE22t2VT_3entXlwLOMVPxs9_AuHUQkmhea9AgkaO8mJT1_J4Wcey-UMwwZoJcLRILVAIL-QqTcjbH5prXNTRsb1x_5a_HrHJ3ze4nc9QLr4jGGsZV7gwSS0Er75Xek/s320/traktus+spinotalamikus.jpg
Gambar 6. Lintasan-lintasan Raba dan Tekanan Ringan (Traktus Spinotalamikus Anterior)

2. Traktus Spinotalamikus Lateral

Jalur ini merupakan serabut saraf ascending yang terletak pada daerah medial sampai dorsal dan bagian ventral traktus spinoserebral. Jalur ini berfokus pada transmisi sensasi nyeri dan temperatur (suhu). Serabut-serabut saraf yang mengantarkan impuls pada jalur ini adalah serabut penghantar cepat tipe A delta dan serabut penghantar lambat tipe C yang badan selnya terdapat pada bagian dorsal ganglia saraf. Kedua jenis serabut saraf tersebut merupakan serabut yang tidak bermielin. Cabang sentral memasuki medula spinalis melalui bagian lateral radiks posterior. Di dalam medula spinalis, cabang sentral ini terbagi menjadi kolateral pendek, longitudinal, dimana di atas 1 atau 2 segmen berhubungan sinaps dengan sel-sel saraf substansia gelatinosa. Cabang ini adalah ”neuron kedua” yang membentuk traktus spinotalamikus lateral. Serat-serat dari traktus ini juga menyilang komisura anterior dan berlanjut ke bagian lateral funikulus lateral dan ke atas ke talamus. Seperti serat funikuli posterior, kedua traktus spinotalamikus juga tersusun dalam urutan somatotopik yang berasal dari tungkai, terletak paling perifer dan yang berasal dari leher, terletak paling sentral (medial).(1,3)

Traktus spinotalamikus lateral menyertai lemnikus medialis pada waktu lemnikus spinalis melewati pusat otak. Traktus tersebut berakhir pada nukleus ventralis posterolateral dari talamus. Dari sini, “neuron ketiga” membentuk traktus talamokortikalis.(1)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgs85YW8uKMtbwQTqVtKNfL7KId1X8sOjqs5_SikrNLgocXAXj-D-UMqN9jBhCNR8MJx9nzn9QUKbOM1mmVmF_HCx6RC2XmTNuXKv1Be0P5RTiIDvx5yL11AH6SkJmmipiHkutqINUNSy0/s320/spinotalamikus+2.jpg

Gambar 7. Lintasan-Lintasan Nyeri dan Suhu (Traktus Spinotalamikus Lateral).

GANGGUAN PADA TRAKTUS SPINOTALAMIKUS

A. Spinotalamikus Anterior

Kenyataan bahwa cabang sentral dari neuron pertama berjalan ke atas dan ke bawah di dalam funikulus, dan berhubungan melalui banyak kolateral dengan “neuron kedua”, merupakan alasan mengapa cedera bagian lumbal dan toraks dari traktus spinotalamikus biasanya tidak menyebabkan hilangnya sensasi taktil yang penting. Impuls dapat dengan mudah melintas daerah cedera. Jika kerusakan mencakup bagian servikal traktus spinotalamikus anterior, dapat menyebabkan hipestesia ringan pada tungkai kontralateral.(1)Kerusakan traktus ini menimbulkan kehilangan sensibilitas raba dan tekanan ringan dibawah tingkat kontralateral terhadap lesi. Ingatlah bahwa rasa raba diskriminatif akan selalu terdapat, karena informasi ini dihantarkan melalui fasikulus grasilis dan fasikulus kuneatus. Pasien tidak akan merasakan raba ringan dari sepotong kapas yang disentuhkan pada kulit atau tidak merasakan tekanan benda pada tumpul yang menyentuh.(4)

B. Spinotalamikus Lateralis

Jika traktus spinotalamikus lateral cedera, sensasi nyeri dan sensasi suhu akan rusak, meskipun tidak selalu dalam derajat yang sama. Pemotongan traktus spinotalamikus lateral pada ventral substansia alba medula spinalis menghilangkan sensasi nyeri dan suhu kontralateral sekitar 1 sampai 2 segmen di bawah tingkat operasi.(1)Kerusakan pada traktus ini menimbulkan kehilangan sensibilitas nyeri dan suhu di bawah tingkat lesi. Karena itu, pasien itu tidak akan memberikan respon terhadap tusukan jarum atau mengenali benda dingin dan panas yang mengenali kulit.(4)

Sindrome pemotongan jaras sensorik1

Gambar 8. Jalur pemotongan jaras sensoris2

1. Lesi pada a dan b, yaitu di kortikal atau subkortikal akan menyebabkan parastesi dan mati rasa pada masing-masing ekstremitas sisi yang berlawanan.

  1. Lesi pada c yaitu dibawah talamus, menyebabkan hilangnya semua kualitas sensorik separuh tubuh kontralateral.
  2. Lesi pada d, yaitu pada jaras sensorik lain selain nyeri dan suhu, terjadi hipestesi kontralateral wajah dan tubuh, sensasi nyeri dan suhu tetap utuh.
  3. Lesi terbatas pada e yaitu pada lemnikus trigeminalis dan traktus spinotalamikus lateral pada pusat otak, maka tidak akan ditemukan sensasi nyeri dan suhu pada wajah dan tubuh kntra lateral. Tapi semua kualitas sensorik lainnya tidak terganggu.
  4. Keterlibatan lesi di f yaitu pada lemnikus dorsalis dan traktus spinotalamikus anterior, menyebabkan kehilangan kualitas sensorik pada kontralateral tubuh, kecuali sensasi nyeri dan suhu.
  5. Lesi di g berupa kerusakan nukleus, traktus trigeminalis dan traktus spinotalamikus lateral, menyebabkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu pada wajah ipsilateral dan tubuh kontralateral.
  6. Kerusakan di h yaitu pada funikulus posterior menyebabkan hilangnya sensasi sikap, getaran, diskriminasi dan sensasi lain yang berhubungan dengan ataksia ipsilateral.
  7. Lesi di i yaitu pada kornu posterior menghilangkan sensasi suhu dan nyeri ipsilateral. Semua kualitas sensorik lain tetap utuh.
  8. Lesi pada k dengan cedera beberapa radiks posterior yang berdekatan diikuti oleh parastesi radikuler, nyeri dan penurunan atau hilangnya semua kualitas sensorik pada masing-masing segmen tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Duss, Peter. 1996. Diagnosis Topik Neurologi, Anatomi, Fisiologi, Tanda, dan Gejala. Jakarta: EGC. 1-30.
  2. Baehr M et Frotscher. Duus’ Topical Diagnosis inNeurology, Anatomi-Phisiology-Sign-Symptoms. Newyork: Thieme Stuttgart.2005, 43-5.
  3. Lumbantobing. Sistem Sensorik. Dalam: Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: FKUI, 2006.115-24.
  4. Netter F, Craig J, Perkins J. Atlas Neuroanatomy and Neurophisiology. USA : Icon Costum Comunication.2002.75-7.
  5. Mardjono, M, Sidharta P. Susunan Somestesia: Dalam :Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat, 2004. 71-113.
  6. Waxman, Tephen. Clinical Neuroanatomy, edisi 25. New York: McGraw-Hill. 2003
  7. Chambell, W. DeJong’s The Neurologic Examination sixth Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins.2005:436-47.

HIV AIDS

|

HIV/AIDS

a. Definisi

AIDS (acquired Imunideficiency Syndrome) merupakan sekumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi akibat infeksi virus HIV (Human Imunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.5

b. Etiologi

HIV (Human Imunodeficiency Virus) adalah sejenis virus retrovirus RNA. Sel target virus ini terutama sel limfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus yang disebut CD4. Didalam sel limfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian, virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infeksius yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.5

c. Cara Penularan

Beberapa cara penularan virus HIV adalah sebagai berikut:

  1. Transmisi seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual.
  2. Transmisi non seksual, meliputi transmisi parenteral dengan penggunaan jarum suntik atau alat tusuk lain yang telah terkontaminasi serta berasal dari produk darah.6
  3. Transmisi transplasental.

d. Patogenesis

Setelah HIV masuk kedalam tubuh, virus menuju kekelenjar limfe dan berada didalam sel dendritik selama beberapa hari. Kemudian terjadi sindrome retroviral akut disertai dengan viremia. Pada tubuh timbul respon imun humoral maupun seluler. Sindrom ini akan hilang dalam 1-3 minggu. Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi dalam 1-3 bulan, dalam masa ini memasuki masa tanpa gejala dan terjadi penurunan bertahap CD4 (normal 800-1000sel/mm3) yang terjadi setelah replikasi persisten virus HIV.

e. Kriteria Diagnosis

Gejala mayor:5

  1. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.
  2. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
  3. Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan.
  4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.
  5. Demensia/ensefalopati HIV.

Gejala minor:

Batuk menetap lebih dari 1 bulan.

  1. Dermatitis generalisata yang gatal.
  2. Herpes Zoster multisegemental dan atau berulang.
  3. Kandidiasis orofaringeal.
  4. Herpes simpleks kronis progresif.
  5. Limfadenopati generalisata.
  6. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.

Alogaritma diagnosis pada pasien HIV8



Pasien dengan HIV








Lesi fokal (-)



Th/sebagi toxoplasma selama 1-2 minggu

Serologi toxoplasma

(+)













Analisa LCS

Tidak ada perbaikan

Perbaikan

(-)

















Lab mikroba, CMV, EBV

Dx toxoplasma

Biopsi

(-) (+)


e. Infeksi Sistem Saraf Pusat Pada HIV

Infeksi HIV merupakan defisiensi imun yang didapat yang mengenai multisistem termasuk sistem saraf pusat yang mengenai 60% dari seluruh pasien AIDS. Infeksi yang mengenai SSP pada AIDS ada dua jenis; infeksi opportunis sekunder atas immunosupresi yang diinduksi oleh hilangnya immunitas sel-T, dan infeksi HIV langsung pada SSP. Kelaianan neurologi yang terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV meliputi:6

Berhubungan dengan infeksi HIV

Distal sensory peripheral neuropathy (DSPN)

HIV demensia (HAD)

Vacuolar myelopathy

HIV poliomielitis

Infeksi opportunistik

Toxiplasmosis

Cryptococcal meningitis

Tuberculosis- menigitis, abses, tuberculoma

Cytomegalovirus (CMV) ensefalitis, retinitis, lumbal radikulopati, vaskulitis perifer neuropati, PML (progessive multifocal leucoenchephalopathy)

Tumor

Limfoma primer pada SSP

Metastasi dari limfoma sistemik

Complikas dari pengobatan

Neuropati perifer

Mielopati

Neuropatologi

Mekanisme masuknya HIV ke SSP belum jelas, namun diduga sebagi sekunder terhadap viremia dan penetrasi endotel atau melalui transport monosit yang terinfeksi melalui sawar darah otak. Sekitar 30 % pasien asimtomatis seropositif HIV dengan biakan CSS positif HIV, kemungkinan virus menembus SSP pada awal perjalanan infeksi dan sering berada dalam keadaan asimtomatis.6

Saat ini sudah jelas bahwa infeksi HIV primer berakibat spektrum dari kelainan klinis SSP, meningitis, dan suatu demensia progresif yang disebut kompleks demensia AIDS (ADC).Dua jenis meningitis dapat terjadi pada infeksi HIV; sindroma febril akuta yang serupa dengan mononukleosis dalam beberapa hari atau minggu dari munculan HIV inisial dan meningitis aseptik disekitar saat serokonversi. Gejala meningitis berkaitan dengan pleositosis CSS mononuklir dan biakan CSS positif HIV pada 50 % pasien. Kedua keadaan ini self limited. 7

ADC adalah sindroma neurologis khas dengan kelainan kognisi, tampilan motor, dan tingkah laku. Gejala biasanya berupa kesulitan konsentrasi dan memori menuju demensia yang jelas dengan tingkat aurosal intak. Gerakan bergantian cepat yang melambat, hiperrefleksia, dan tanda-tanda lepasan frontal biasanya dijumpai pada pemeriksaan, dengan imbalans, ataksia, dan kelemahan aksial menjadi prominen pada tingkat penyakit yang lebih parah. Tingkat akhir ADC mendekati vegetatif dengan pandangan kosong, paraparesis, dan inkontinens. Gambaran ADC adalah khas demensia subkortikal seperti gangguan kognitif yang tampak pada kelainan Parkinson dan Huntington. Ada dan beratnya ADC paralel dengan beratnya kelainan sistemik pasien AIDS.7

Sel SSP yang dipastikan memperlihatkan antigen HIV 1 hanya makrofag, mikroglia, dan sel raksasa multinuklir. Demielinasi dengan tiadanya perubahan inflamatori (leukoensefalopati), seperti juga mielopati vakuoler, juga umum dijumpai. Tiadanya infeksi sitolitik dari sel saraf, oligodendrosit, dan astrosit memusatkan perhatian pada kemungkinan peran mekanisme indirek pada disfungsi otak berhubungan baik dengan virus maupun dengan toksin 'cellcoded'.6

f. Penatalaksanaan

1. Pengobatan suportif, yang bertujuan untuk meningkatkan keadaan umum pasien, meliputi perbaikan gizi, obat sistemik, serta vitamin.

2. Pencegahan serta pengobatan infeksi oportunistik dan kanker.

3. Pengobatan antiretroviral (ARV) meliputi nucleoside reverse transkriptase inhibitor, nukleotida revers transkriptase inhibitor, non-nukleoside revers transkripatse inhibitor dan inhibitor protease.5

DASAR DIAGNOSIS KLINIS

Pada pasien ini didapatkan gambaran klinis berupa sefalgia, demam hilang timbul, dermatitis generalisata, tanda defisit neurologis berupa gangguan fungsi luhur, hemiparese dekstra, timbulnya refleks patologis adanya refleks primitif.

DASAR DIAGNOSIS TOPIK

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan kecurigaan lokasi lesi terdapat pada kedua hemisfer serebri, dan serebeli karena didapatkan adanya kelainan neurologis pada kedua sisi tubuh, serta berdasarkan pemeriksaan MRI didapatkan adanya multipel abses pada kedua hemisfer serebri et serebeli.

DASAR DIAGNOSIS ETIOLOGIK

Sesuai dengan kesimpulan dari diagnosis klinis dan topis maka yang paling tepat sebagai etiologi adalah adanya SOL di kedua hemisfer, selanjutnya dengan pemeriksaan CT Scan, MRI dan Serologi didapatkan adanya multipel abses dan juga pada pemeriksaan serologis didapatkan HIV (+). Adanya multipel abses pada pasien ini diduga disebabkan oleh infeksi toxoplasmosis yang menyerang SSP, karena sesuai dengan gambaran MRI tentang toxoplasmosis yaitu adanya multipel lesi, dengan nekrosis sentral dengan gambaran ring enhancement, perifokal edem, dan efek massa serta adanya corpus calosum enhancement. Serta gejala yang sesuai yaitu nyeri kepala, defisit neurologis fokal seperti hemiparese serta adanya gangguan status mental.

DASAR DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding pasien ini difikirkan sebagai multipel abses pada HIV yang disebabkan oleh Tubesculosis, karena abses pada tuberculoma juga terdapat multipel abses, dengan gambaran abses yang lebih kecil dengan ukuran 1-2 mm, serta efek massa yang minimal. Namun pada pasien ini didapatkan adanya gejala infeksi tuberkulosis pada paru, yaitu tidak adanya batuk-batuk yang lama dan pada pemeriksaan fisik paru tidak didapatkan kelaianan serta pada hasil MRI didapatkan ukuran yang lebih besar dan efek massa (+).

DAFTAR PUSTAKA

  1. John RM. A, B, Cs of Brain Tumors- From their Biology to their treatment. http://www.brain-surgery.com [ diakses tanggal 18 Januari 2009].
  2. Saanin S. Tumor Intra Kranial. http://www.neurosurgery.com [ diakses tanggal 20 Januari 2009]
  3. Komaludin MT. Abses Otak. Cermin Dunia Kedokteran 1993. Vol 89:25-29.
  4. Mardjono, M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 1996.
  5. Djoerban Z & Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.182-9.
  6. Manji, Miller. The Neurology of HIV Infection. J Neural Neurosurg Psychiatry 2004. http://www.jnpp.bmj.com [diakses 22 Januari 2009]
  7. Ghoufari et al. HIV-1 associated Dementia: symptom and causes.J Retrovirology 2006. http://www.biomed.com [ diakses 21 Januari 2009]
  8. Verma, A. Infections of The Nervous System, Neurological Manifestations of Human Imunodeficiency Virus Infection in Adults. In Neurology in Clinical Practice, fifth edition. Bradley et al (editor). Boston: Butterworth. 2000; 1529-41.